Suara.com - Pada Mei dan Agustus 2019, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan internet, baik berbentuk perlambatan maupun pemblokiran total dengan alasan untuk melawan hoaks dan misinformasi.
Namun penelitian justru membuktikan bahwa tindakan pemblokiran tersebut adalah “senjata tumpul” dalam menghentikan penyebaran baik hoaks dan misinformasi.
Selain tidak efektif, keputusan pemerintah untuk memblokir internet juga tidak dibenarkan.
Banyak pihak sudah mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa pemblokiran internet dapat mengancam demokrasi.
Baca Juga: Ombudsman Hitung Kerugian Akibat Blokir Internet di Papua
Tapi selain itu, keputusan pemerintah terbukti tidak lulus tes tiga tahap yang merupakan interpretasi resmi Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR) dan dirilis pada tahun 2011.
Tiga tahap tersebut dijalankan pada tiga aspek yaitu legalitas (legality), legitimasi (legitimacy), dan kebutuhan (necessity) atas keputusan pembatasan kebebasan berpendapat.
Keputusan pemblokiran internet pada Aksi 22 Mei dan di Papua terbukti tidak memenuhi syarat legalitas, legitimasi, dan kebutuhan.
Tes tiga tahap dan kegagalan pemerintah Indonesia
Negara memang punya kuasa dalam menjalankan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia, memang bukan hak yang absolut.
Baca Juga: Ombudsman: Pemerintah Pusat Diskriminatif Blokir Internet Orang Papua
Pembatasan menjadi mungkin dilakukan oleh pemerintah, khususnya bila sudah bersinggungan dengan hak asasi manusia orang lain. Di sinilah keberadaan tes tiga tahap berfungsi untuk menguji apakah pembatasan pemerintah masih dapat tetap melindungi atau justru melanggar hak asasi warganya.
Dalam kasus Indonesia, keputusan pemerintah tidak memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan.
Dalam aspek legalitas, pembatasan akan tepat dijalankan apabila perintah pembatasan itu dicantumkan dalam sebuah produk hukum.
Namun pada kasus Indonesia, pembatasan akses informasi yang dilakukan justru mendorong adanya isu hukum baru. Hal ini dikarenakan produk hukum yang menjadi dasar pemblokiran internet, baik di Jakarta maupun Papua, lemah.
Terminologi “produk hukum” di sini memang luas maknanya, namun siaran pers yang diterbitkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk pemblokiran internet baik di Papua maupun Jakarta jelas tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan siaran pers yang sifatnya peraturan eksekutif tidak memenuhi standar internasional sebagai aturan hukum untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Kominfo memang menyatakan dasar hukum pemblokiran internet salah satunya adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE Perubahan). Namun UU tersebut tidak memiliki rumusan yang lebih spesifik terkait muatan informasi elektronik yang melanggar hukum dan mekanisme pelaksanaan pemutusan akses data.
Terkait aspek legitimasi, pembatasan hak asasi manusia - dalam hal ini hak untuk mengungkapkan pendapat - mendapat legitimasi yang tepat jika ada kepentingan publik yang ingin dilindungi melalui kebijakan pembatasan tersebut.
Pada praktiknya, setiap pembatasan informasi dengan mematikan layanan internet justru merugikan kepentingan lebih luas.
Selain mengancam demokrasi, ada aspek ekonomi yang terdampak secara signifikan bahkan rentan memperburuk kondisi keamanan.
Untuk aspek yang terakhir tentang kebutuhan, pembatasan yang dilakukan harus tersebut benar-benar dibutuhkan untuk melindungi hak-hak publik sebagaimana diidentifikasi dari aspek legitimasi.
Mematikan koneksi dengan dunia luar, justru menjadi peluang pemerintah menjadi satu-satunya corong informasi. Monopoli atas informasi akan mengaburkan pencarian kebenaran oleh warga dan menjauhkan negara dari semangat demokrasi.
Dampak ekonomi atas pemblokiran internet juga jelas melanggar hak publik atas pelayanan dan fasilitas publik yang memadai.
Pemutusan akses internet tidak bisa terus berulang, tentu kita tidak ingin kelumpuhan infrastruktur dan lesunya aktivitas warga seperti yang terjadi di India dan Republik Kongo juga terjadi di Indonesia.
Senjata melawan hoaks yang efektif
Ironisnya, pembatasan internet seolah menjadi tren di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus menghindari kebijakan pemutusan koneksi internet.
Revisi atas UU ITE - yang selama ini dijadikan dasar pemerintah - juga merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah. Banyaknya permasalahan di dalam UU ini menunjukkan problematika besar dalam regulasi di internet, khususnya hak-hak digital.
Merevisi rumusan pasal terkait penyebaran berita bohong adalah salah satu opsi. Pasal 28 Ayat 1 UU ITE, misalnya, lebih spesifik pada kerugian konsumen pada transaksi elektronik, bukan bentuk berita bohong yang memiliki dampak masif seperti hoaks.
Kalaupun perlu dilakukan, pemblokiran internet harus lahir melalui aturan spesifik dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU ITE untuk mengatur terkait konten dan situasi yang sifatnya memaksa dan darurat.
Klise namun tetap krusial: mengedukasi masyarakat lewat kampanye melawan hoaks juga perlu menjadi langkah pemerintah.
Langkah represif tentu saja tidak akan efektif dan berujung pada pemblokiran yang berulang.
Dengan semakin tingginya jumlah pengguna internet, kepakaran ahli sayangnya sudah mulai tidak laku; penyebaran informasi - jujur atau bohong - kini semudah memencet tombol “sebar” di media sosial.
Internet memang selayaknya “alam liar” yang perlu diatur oleh pemerintah, namun blokir internet sebaiknya menjadi senjata yang diangkat paling akhir, atau tidak sama sekali.
Alexander Meiklejohn, ahli teori politik dan pembela kebebasan berekspresi dari Amerika Serikat, berpendapat bahwa kebebasan berpendapat adalah kunci agar pemerintah dijalankan dari dan untuk masyarakatnya sendiri (self-government). Pemerintah (yang mengatur) dan masyarakat (yang diatur) adalah individu-individu yang memiliki hak yang sama.
Memang benar kita masih bisa hidup tanpa internet, namun hidup dengan hak akses atas informasi yang dirampas bukanlah hidup sebagai manusia seutuhnya.
Artikel ini sudah tayang sebelumnya di The Conversation.