OPINI: Implikasi Megatrends 2030-2050 Dalam Sektor Teknologi

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 20 Agustus 2019 | 15:54 WIB
OPINI: Implikasi Megatrends 2030-2050 Dalam Sektor Teknologi
Ilustrasi Kota Jakarta, ibu kota Indonesia dipastikan akan dipindah ke Kalimantan. [ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Oleh: Wayan Suparta, PhD

Dua minggu setelah waktu pemungutan suara dalam pemilu 2019, pasangan Capres no. 01 yang juga presiden petahana, Joko Widodo atau Jokowi melontarkan wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Kini setelah presiden terpilih telah ditetapkan oleh KPU dan diperkuat dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2019, ibu kota negara dipastikan akan dipindahkan ke Kalimantan.

Namun yang masih tersisa di benak publik adalah pertama, apakah ibu kota Indonesia akan berganti nama. Kedua, apakah pembangunan ibu kota baru ini hanya sebagai pusat pemerintahan?

Jika menilik negara jiran seperti Malaysia, Kuala Lumpur tetap menjadi ibu kota sekaligus pusat ekonomi negara, sementara Putrajaya menjadi pusat administrasi pemerintahan yang hampir lepas dari hiruk pikuk bisnis.

Baca Juga: Pakai Teknologi Augmented Reality, Google Tampilkan Gambar 3D

Indonesia hendak mengadopsi yang mana? Di balik wacana dan usaha memindahkan ibu kota tersebut, Indonesia melalui Bappenas telah mempunyai Visi 2045 yaitu menargetkan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terkuat kelima di dunia. Apakah pasca pembangunan ibu kota ini telah mempertimbangkan megatrends 2030 - 2050?

Megatrends adalah sumber kekuatan utama yang bersifat global, berkelanjutan dan berkekuatan ekonomi makro yang berdampak pada sistem sosial dan lanskap ekonomi dunia. Perubahan ini bersifat radikal, masif, terstruktur, dan tidak dapat dibendung, berimplikasi pada sumber daya dimulai dengan kelangkaan sumber pangan, air, dan energi, urbanisasi yang masif, dan pertumbuhan ekonomi kelas menengah dunia.

Oleh karena itu, pemerintah, perusahaan atau pemangku kepentingan harus secara berhati-hati dalam merespon, mendiagnosa, menganalisis, mendesain strategi masa depan dan proses perencanaan yang konsisten dan berkelanjutan agar perubahan ini berdampak positif dan berkelanjutan.

Berdasarkan laporan dari Global PricewaterhouseCoopers (PwC) (2016), perusahaan ini mengidentifikasi lima megatrends global dalam dua dekade mendatang yaitu urbanisasi yang cepat, perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya, geopolitik, demografi dan perubahan sosial, dan terobosan teknologi.

Sementara Roland Berger (2017) memproyeksikan tujuh megatrends menjelang 2030 dengan dua tambahan baru dari PwC yaitu globalisasi dan pasar masa depan, dan keberlanjutan dan tanggung jawab global. Dari lima dan tujuh megatrends ini, Pusat Kolaborasi Kimia Berkelanjutan Internasional (ISC3) PBB (2018) juga merumuskan enam megatrends yang intinya hampir sama. Dalam menganalisa megatrends ini, mereka didukung oleh data yang dapat diverifikasi.

Baca Juga: Riset: Teknologi VR Bisa Kurangi Rasa Sakit

Misalnya urbanisasi, populasi perkotaan dunia diperkirakan meningkat dari 50% menjadi 72%, sementara 7 dari 10 kota terbesar di Asia meningkat populasinya menjadi 63% dari total populasi pada 2050.

Urbanisasi ini berimplikasi pada kelangkaan lahan, harga tanah yang mahal, dan merosotnya minat masyarakat bertransmigrasi swakarsa. Kelangkaan lahan juga dipicu dengan tumbuhnya kota-kota satelit. Proyek besar akan diperlukan untuk membangun infrastruktur kota, mendukung arus perdagangan baru (bandara, pelabuhan laut, dan koneksi cerdas antar kota atau desa).

Boom konstruksi (perumahan dan infrastruktur) bakal terjadi pertumbuhan sebesar 85% pada tahun 2030 di mana rumah-rumah tradisional berganti menjadi apartemen bertingkat bahkan pembangunan usaha, transportasi, atau tempat tinggal di bawah tanah juga diprediksi semakin meningkat.

Transportasi atau shopping mall di bawah laut bagi negara maritim atau negara dengan luas wilayah terbatas juga menjadi sebuah keniscayaan.

Megatrends dalam perubahan iklim dan persaingan sumber daya memprediksi terjadi kelangkaan makanan dan energi, pendanaan, ekonomi hijau, dampak perubahan iklim dan polusi (udara, air, tanah). Kenaikan permukaan air laut memicu ancaman urbanisasi aglomerasi, ketegangan politik, ekonomi, agama, demografi, dan etnis.

Fenomena banjir dan kejadian bencana alam yang tidak terprediksi akan memberi tekanan tambahan pada mata rantai pasokan dan pelambatan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dampak finansial dari perubahan iklim bagi negara-negara berkembang adalah tinggi di mana Eropa Timur dan Asia menghadapi suatu biaya PDB rata-rata sekitar 0,1-0,14% hingga 2050.

Sementara emisi gas karbon oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) diprediksi terus meningkat 17,8% pada 2030. Regulasi perubahan iklim global di suatu negara semakin sangat penting dan isu-isu atau implikasi dari meningkatnya suhu permukaan bumi dan ekstremitas fenomena alam perlu ditangani dengan cerdas.

Dalam megatrends demografi dan perubahan sosial muncul pergeseran dalam perilaku sosial, individualistis, ukuran keluarga lebih kecil, dan gaya hidup tentang keberlanjutan dan kesehatan. Demografi menyentuh aspek populasi penuaan (usia 65 ke atas), mobilitas global, dan meningkatnya gap antara kaya dan miskin. PBB melaporkan bahwa populasi lansia dunia meningkat menjadi 21% di tahun 2050.

Penuaan menyiratkan perubahan dalam gaya hidup dan pola konsumsi, yang akan mempengaruhi jenis produk dan layanan dalam permintaan dan arah inovasi. Sementara megatrends geopolitik merangkum bangkitnya globalisasi kelas menengah (kapitalisme), nasionalisme dan sistem politik.

Kekuatan ekonomi global diprediksi bergeser dari Eropa ke Asia dimana India, Indonesia dan Korea selain Jepang dan China akan menjadi motor ekonomi dunia setelah 2030. Namun nasionalisme semakin memudar dengan konektivitas yang tanpa batas dan kerentanan dunia maya menjadi salah satu medan pertempuran antara negara dan aktor non-negara.

Munculnya model bisnis baru membuat perusahaan di semua sektor akan bergulat dengan bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi harapan konsumen, cara mereka berinteraksi dengan pelanggan mereka, dan bentuk operasi virtual yang mendasari.

Munculnya berbagai inovasi dalam disiplin ilmu seperti elektronik, komputer, nanoteknologi, dan sistem transportasi menandakan megatrends dalam sektor teknologi. PwC melaporkan, 60% generasi muda menjelang 2025 akan memasuki lapangan kerja yang saat ini tidak ada. Artinya 3 dari 5 lapangan kerja akan didominasi oleh digitalisasi pada tahun 2030.

Digitalisasi ini dipacu oleh revolusi industri 4.0 dimana kecerdasan buatan, big data dan analytics, internet of things (IoT), dan komputasi awan mendominasi transformasi digital hingga 2050. Perkembangan elektronika juga semakin berhasil mengecilkan prototipe hardware termasuk robot aplikasi.

Dengan kata lain, teknologi memungkinkan efisiensi energi dalam bidang konstruksi, dimana kayu atau batu untuk bahan bangunan akan bertransformasi dengan material aditif baru yang lebih fleksibel dan ekonomis.

Perkembangan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semakin revolusioner, bahkan mengetikkan tangan pada keyboard PC, laptop atau handphone akan digantikan dengan suara. Ke depan pikiran, ide-ide atau akal (brainware) akan langsung dapat disketsa pola-polanya di depan komputer. Pengiriman barang (delivery) bakal bertransformasi dengan sistem augmentasi drone. Pusat-pusat logistik semakin terdesentralisasi dengan otomatisasi moda transportasi.

Konektivitas semakin meningkat secara eksponensial dengan munculnya smartphone super canggih yang dilengkapi dengan keamanan siber dan kecepatan akses internet yang mumpuni. Model baru dalam pelayanan sosial media baik untuk bisnis maupun bersosialita makin masif dengan kreativitas Apps baru.

Selain itu, terobosan digital semakin mengganggu semua sektor seperti layanan keuangan (misalnya Fintech dengan platform P2P), crowdfunding ekuitas, sistem pembayaran online, cryptocurrency, dan blockchain. Data menjadi aset yang sangat berharga dalam menemukan peluang bisnis dan pasar, terutama berkembang pesatnya bidang data science.

Tidak dipungkiri pula bahwa setiap kemajuan teknologi baru memunculkan kerentanan baru yang akan menantang organisasi penegakan hukum, keamanan, dan pertahanan. Organisasi ini diharapkan mampu menangani isu-isu ini dengan skala kecepatan bisnis.

Di sektor pendidikan tinggi sebagai basis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan sekedar menargetkan lulusan yang profesional dalam bidang teknik, kemampuan bersaing dengan pekerja asing, dan globalisasi pendidikan, melainkan kemampuan untuk menjadi hub penelitian, teknologi, jaringan cerdas, dan peradaban dunia.

Sumber daya manusia (SDM) menjadi komponen mendasar yang harus ditingkatkan kualitasnya terutama lompatan kemampuan untuk menyiapkan bahan ajar berorientasi pasar dan melampaui zamannya, inovasi pembelajaran berbasis TIK terkini hingga produktivitas penelitian dan pengabdian masyarakat dengan menghasilkan publikasi bereputasi tinggi, hak cipta, paten, dan penyebaran ipteks.

Dosen adalah superhero dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan bebannya diperkirakan meningkat ke Panca Dharma Perguruan Tinggi menjelang tahun 2050. Penyusunan rencana strategis (renstra) menjadi kunci penting untuk keberkelanjutan sebuah perguruan tinggi.

Akhirnya, pembangunan ibu kota baru yang bakal berdampak pada semua sektor terutama ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, politik, dan lain-lain seyogyanya telah mempertimbangkan megatrends ini. Pertimbangan ini tentu merujuk pada ibu kota dengan konsep kota cerdas (smart city), berkelanjutan, berbudaya, mobilitas, konektivitas, beradaptasi dengan kompleksitas, aman dan dinamis.

********

Wayan Suparta adalah dosen di Program Studi Informatika, Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Tangerang Selatan, Banten sejak 6 Februari 2019 hingga sekarang.

Sebelumnya beliau adalah dosen di Prodi Teknik Elektro, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (Februari 2018 - Juli 2018). Adjunct Professor di Prodi Teknik Sipil, Universitas Teknologi Yogyakarta (September 2017 - Januari 2018).

Sebelum pulang ke Indonesia, beliau bekerja di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) sebagai dosen dan peneliti dengan jabatan mulai dari Senior Lecturer sampai Associate Professor dari Juli 2008 hingga April 2017 dan karirnya diawali sebagai Post Doctoral Fellow (2007-2008).

Sempat dipromosikan sebagai profesor penuh de facto di UKM (April - Juni 2017), namun karena universitas mengalami masalah keuangan, akhirnya beliau mengundurkan diri pada 16 Juni 2017.
Sewaktu di Malaysia, dia juga tercatat sebagai staf pengajar tidak tetap di Program Doctor of Computer Science (DCS), Universitas Bina Nusantara (BINUS) Jakarta. Karir awalnya dimulai sebagai Guru Fisika, Elektronika, dan Komputer di SMAK Cor Jesu Malang (1994-1997), dan guru Fisika dan Elektronika di SMAK Santo Aloysius Bandung (1997-2000). Kemudian menjadi Dosen Teknik Elektro di College Legenda Group, Malaysia (2000 - 2004) sebelum ke UKM.

Sementara riset yang digeluti sejak 2003 adalah Teknologi GPS/GNSS, Remote Sensing, Smart Systems, Aplikasi Artificial Neural Network dan Data Mining.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI