Suara.com - Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri mengatakan bahwa pembeli data pribadi dapat dijerat pidana. Ancaman ini diutarakan setelah polisi menangkap C, tersangka penjual NIK, KK, dan nomor rekening di Depok, Jawa Barat pada 6 Agustus lalu.
"Dia menggunakan, itu bukan haknya. Itu juga bisa kami jerat," tutur Wakil Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Asep Safrudin di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Saat ini Dittipid Siber masih menelusuri para pembeli dan penggunaan data pribadi oleh mereka yang membeli data-data pribadi tersebut dari C.
Namun, Asep mengakui penelusuran transaksi dalam bidang siber tidak semudah transaksi fisik karena jejak dan buktinya cepat hilang dan dapat dilakukan di mana saja.
Baca Juga: NIK dan KK yang Dijajakan di Internet Bukan Hasil Peretasan Dukcapil
"Makanya kami belum bisa mengatakan hukumannya seperti apa, tergantung dia menggunakannya untuk apa," ucap Asep.
Menurut dia, nantinya apabila undang-undang perlindungan data pribadi telah disahkan, kerja polisi dalam melakukan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan data pribadi akan lebih mudah.
Sementara untuk tersangka C yang memiliki jutaan data meliputi nama lengkap, nomor telepon genggam, alamat, nomor induk kependudukan, nomor KK, rekening bank, nomor kartu kredit dan data pribadi lainnya, polisi menjerat dengan UU ITE.
Pasal yang digunakan adalah Pasal 48 ayat (2) jo Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 3 miliar.
Selain itu, C juga dikenai Pasal 95A UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukandengan ancaman maksimal dua tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 25 juta. [Antara]
Baca Juga: Polisi Bekuk Penjual NIK, KK, dan Nomor Rekening di Internet