Suara.com - Wacana pembatasan akses media sosial dari Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali muncul ke permukaan jelang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 Juni mendatang.
Terkait rencana ini, pengamat media sosial Enda Nasution berpendapat bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir seandainya Kominfo benar-benar membatasi akses media sosial.
"Sebenarnya (pembatasan akses media sosial) sama seperti kemarin, bedanya sekarang lebih berupa antisipasi saja terhadap penyebaran hoaks dan provokasi," jelas Enda kepada Suara.com, Kamis (13/6/2019).
Karena akses media sosial sempat dibatasi Kominfo pada kerusuhan Mei lalu, Enda mengatakan bahwa masyarakat Indonesia seharusnya bisa belajar dari pengalaman tersebut.
Baca Juga: Jelang Sidang MK, 400 Personel TNI Bersiaga di Kantor Anies
Terkait beberapa pedagang online yang terdampak keputusan Kominfo, menurut Enda, seharusnya mereka sudah memiliki solusi atau alternatif lain untuk menjaga kelancaran usahanya.
"Saya rasa tidak akan banyak ya (dampaknya). Tergantung berapa lama pembatasannya. Dan pembatasannya kan tidak total, jadi pengguna masih bisa berkomunikasi," lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Enda juga mendukung langkah Kominfo terkait wacana tersebut karena dianggap sebagai solusi yang cukup tepat untuk mencegah bahaya yang lebih besar.
"Karena sekarang belum ada alternatif tindakan lain, dan jika tidak ada tindakan apa-apa juga salah, maka menurut saya (Kominfo) sudah tepat," jelas Enda.
Oleh karena itu, ia berpesan agar masyarakat Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan rencana tersebut karena pada dasarnya, Kominfo tidak menutup total akses komunikasi.
Baca Juga: Pembatasan Akses Media Sosial Jelang Sidang MK Dinilai Tidak Perlu
"Khawatir rasanya enggak perlu, mungkin dimanfaatkan saja kalau pun ada masa pembatasan dengan memaksimalkan fungsi interaksi lainnya yang masih bisa lancar," tutupnya.
Kurang Efektif
Berbeda dengan Enda, Executive Director Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai bahwa cara Kominfo untuk meredam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian lewat media sosial kurang efektif.
"Langkah (Kominfo) kemarin sih kurang efektif karena pengguna akhirnya pakai VPN dan hoaks tetap banyak sampai sekarang," kata Heru.
Menurutnya, hal yang harus dibenahi adalah soal literasi digital.
"Yang harus dikedepankan adalah literasi. Kalau mau diblok, diblok akun palsu, robot, atau psedonym yang sebar hoaks dan ujaran kebencian, bukan membatasi akses ke semua pengguna (media sosial)," imbuhnya.
Menurut Heru keputusan Kominfo untuk membatasi akses media sosial juga berimbas pada banyaknya kerugian bagi pengguna yang menggunakan media sosial sebagai ladang bisnisnya.
"Kemarin dihitung sama INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) kerugian (akibat pembatasan medsos) hingga Rp. 600-an miliar. Pengguna pasti rugi karena bayar full tapi kuota tidak dipakai. Pedagang e-commerce juga bisa jadi rugi karena banyak transaksi gagal," lanjutnya.
Seandainya Kominfo kembali memutuskan untuk membatasi medsos, hal tersebut akan menjadi catatan kelam dunia telekomunikasi di Indonesia.
"Hanya perlu dipertimbangkan faktor sejarah, nanti di masa depan tahun ini dicatat dalam sejarah sebagai tahun kelam pemblokiran medsos. Bahkan bisa jadi ada tokoh-tokoh yang nanti dicap sebagai Bapak Blokir Nasional," imbuh Heru.