Nilai-nilai moralitas terkadang bisa membuat keadaan menjadi lebih parah.
Penelitian saya pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat agresivitas sebuah kelompok bisa menjadi semakin parah ketika mereka memperoleh justifikasi moral, misalnya dari nilai-nilai agama, yang membenarkan tindakannya.
Dinamika kelompok yang sama pernah terjadi dengan skala yang lebih besar dan ganas pada kasus kerusuhan dan konflik di Maluku.
Respons yang tepat
Baca Juga: Cegah Kerusuhan 22 Mei Susulan, Brimob Masih Jaga Bawaslu dan KPU
Respons dari pihak keamanan menjadi amat penting.
Stephen Reicher, psikolog sosial St. Andrews University, Inggris menekankan pihak keamanan harus mampu keluar dari jebakan homogenitas kerumunan massa itu.
Mereka tak boleh memperlakukan orang-orang di dalam kelompok massa secara sama rata.
Rekomendasi ini diberikan oleh dua peneliti psikologi sosial, Clifford Stott dan Stephen Reicher, setelah mereka menganalisis sebuah kasus kerusuhan di Inggris pada 31 Maret 1990.
Pihak keamanan harus mampu mengidentifikasi mana individu-individu yang menjadi motor kerusuhan, dan mana orang-orang yang hanya ikut-ikutan saja.
Baca Juga: Demonstrasi Anarkistis 22 Mei: Bagaimana Otak Memantik Kekerasan
Pembedaan dalam penanganan ini bisa memecah-belah massa yang menyerang, sehingga agresivitas mereka tidak cepat menyebar.