Suara.com - Banyak orang telah memperkirakan akan adanya demonstrasi besar menyambut penetapan hasil pemilihan presiden (pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto yang tidak puas dengan hasil hitung akhir KPU yang menyatakan petahana Joko Widodo (Jokowi) menang pada 21 Mei dini hari menggelar aksi protes mereka pada sore harinya.
Dari aksi protes yang berjalan damai, aksi kemudian mengganas tengah malam. Beberapa orang melakukan provokasi, merusak kawat berduri yang terpasang memagari kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Banwaslu) dan menyerang polisi dengan batu dan petasan. Polisi mencoba memukul balik massa aksi dengan gas air mata, tetapi massa justru semakin brutal.
Menyaksikan rangkaian peristiwa itu di berbagai kanal berita, banyak di antara kita tertegun dan bertanya-tanya. Mengapa peserta aksi protes menjadi sedemikian agresif? Dan apakah respons yang tepat untuk menghadapi massa yang agresif ini? Artikel ini berusaha memberi penjelasan.
Baca Juga: Cegah Kerusuhan 22 Mei Susulan, Brimob Masih Jaga Bawaslu dan KPU
Massa yang gila
Para psikolog sosial telah lama mempelajari motivasi dan perilaku orang di kerumunan.
Penelitian-penelitian yang ada hampir seluruhnya sepakat bahwa kerumunan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap mentalitas individu-individu di dalamnya.
Gustav Le Bon, pionir bidang riset ini, sering menggambarkan, saat berada di dalam kerumunan, orang gampang menjadi “gila”.
Mereka mudah lepas kendali atas dirinya sendiri, menjadi tidak rasional, dan gampang hanyut oleh arus kerumunan.
Baca Juga: Demonstrasi Anarkistis 22 Mei: Bagaimana Otak Memantik Kekerasan
Sosok individu bisa hilang dan tergantikan oleh rasa kesetiakawanan kelompok. Pada titik inilah, orang menjadi rentan terprovokasi oleh pemimpin kelompok aksi, dan melakukan tindakan agresif yang tidak akan dia lakukan dalam situasi sendirian.