Suara.com - Ella S. Prihatini, kandidat doktor dari University of Western Australia; Hadrian Geri Djajadikerta pengajar pada Edith Cowan University; dan Muhammad Sigit Andhi Rahman, dosen pada President University melihat aktivitas partai politik di media sosial.
Tetapi pertanyaan yang akan dijawab di akhir riset ini, apakah keriuhan di media sosial akan diterjemahkan dalam jumlah suara di bilik pencoblosan?
Setengah dari 260 juta penduduk Indonesia kini terhubung dengan internet, dan rata-rata menghabiskan hampir 9 jam per hari online. Penelitian bersama Google-Temasek memperkirakan bahwa Indonesia akan memiliki 215 juta pengguna internet pada tahun 2020, menjadikannya peringkat keempat pemakai internet terbanyak di dunia.
Meski ratusan juta orang di Indonesia menghabiskan banyak waktu di internet, hanya sedikit yang diketahui tentang pemanfaatan internet oleh partai-partai politik di Indonesia untuk berhubungan langsung dengan pemilih dan menyebarkan pesan-pesan politik mereka melalui kampanye virtual.
Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir makin jelas terlihat bagaimana partai-partai politik di negara-negara lain, misalnya di Amerika Serikat dan Inggris, memanfaatkan media sosial dan menggencarkan pemasaran politik secara digital dalam pemilu.
Apakah partai-partai di Indonesia sudah memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih untuk menang pemilu? Dan adakah korelasi antara jumlah kursi di parlemen serta usia partai terhadap popularitas mereka di internet?
Popularitas partai di media sosial
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meneliti penggunaan internet oleh 16 partai politik peserta pemilu 2019. Kami mengamati akun-akun media sosial yang didaftar oleh partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai akun resmi mereka untuk periode kampanye jelang Pemilu 2019. Masa observasi riset kami berlangsung sepanjang 23 September 2018 hingga 4 Desember 2018.
Kami menemukan bahwa semua partai, kecuali Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarluaskan materi kampanye mereka kepada publik. Namun, pemanfaatan dan kinerja platform media sosial partai ternyata beragam tingkatannya. Mayoritas partai menggunakan empat platform: Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Lima partai tidak memiliki akun di YouTube.
Rata-rata partai politik di Indonesia telah menggunakan Facebook selama 4 tahun, Twitter selama 5 tahun, dan Instagram selama 2 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa Twitter adalah platform media sosial yang paling mapan yang digunakan oleh partai. Bahkan ada lima partai yang telah menggunakan Twitter selama lebih dari enam tahun.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah partai dengan akun Facebook paling tua. Bergabung dengan situs jejaring sosial ini sejak 2008, dua tahun sejak Facebook terbuka untuk siapa pun di atas 13 tahun yang memiliki alamat email. Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) telah bergabung dengan Facebook selama 8 tahun terakhir, diikuti oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akunnya telah terdaftar sejak 7 tahun lalu.
Namun, menarik untuk dicatat bahwa meski menjadi tiga partai politik Indonesia pertama yang membuat akun Facebook, popularitas PDI-P (sekitar 1,5 juta follower), PAN (187.000), dan PKS (615.000) di Facebook jauh lebih rendah daripada Gerindra dengan sekitar 3,6 juta follower dan Partai Solidaritas Indonesia dengan sekitar 2,9 juta follower.
Studi kami juga menemukan bahwa usia partai tidak menentukan popularitas partai di dunia maya. Gerindra yang didirikan hanya 10 tahun yang lalu telah menjadi partai yang paling populer di semua media sosial, kecuali YouTube.
Partai yang lebih tua seperti Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jauh tertinggal dalam mengumpulkan dukungan online.
Akun Golkar di Twitter yang dilaporkan kepada KPU sebagai akun resmi media sosial partai selama kampanye 2019, sebagai contoh, ada empat; @2DPP-Golkar, @fraksigolkar, @GoJo2019, dan @GolkarBalitbang. Akun @2DPP-Golkar tidak dapat ditemukan, sementara @fraksigolkar memiliki 10.200-an pengikut. Selanjutnya @GoJo2019, yang merupakan akun Relawan Golkar Jokowi, hanya memiliki 200-an followers. Dan @GolkarBalitbang diikuti oleh 881 akun di Twitter.
Kondisi serupa terjadi di kubu PPP. Di jagad Twitter, partai ini mengusung 2 akun; @DPP_PPP dengan 38.100-an pengikut, dan @sahabatgusrommy yang hanya memiliki 1.140 followers. Demikian pula, PDI-P sebagai pemenang dalam pemilu 1999 dan 2014, popularitasnya di media sosial jauh di belakang partai yang lebih muda.
Transisi digital
Partai politik di Indonesia tampaknya masih meraba-raba dalam penggunaan media digital sebagai alat untuk menyebarkan informasi. Para pengurus partai memiliki prioritas yang berbeda-beda terkait peningkatan popularitas virtual mereka.
Beberapa partai menganggap popularitas di Facebook atau Twitter tidak terlalu penting. Atau, mereka belum benar-benar memahami strategi berkampanye di media sosial.
Partai Demokrat adalah salah satu partai yang lemah dalam strategi berkampanye di internet. Partai ini menggunakan “kode” baru yang berasal dari nomor urut partai untuk Pemilu 2019: 14.
Kode yang mereka gunakan adalah “S14P” (dibaca: “siap”) dan mereka membuat akun-akun media sosial yang sama sekali baru dengan menggunakan kode ini. Sepertinya manajer media sosial Partai Demokrat ingin kode ini menunjukkan pada warganet bahwa Demokrat siap untuk memenangkan pesta demokrasi 2019. Menariknya, partai ini menjalankan akun resmi lain di Twitter sejak 2011 (@PDemokrat) dengan sekitar 88.500 pengikut dan 10.600 tweets. Sementara, semua akun media sosial yang mereka daftarkan ke KPU menggunakan kode “S14P” dan hanya memiliki segelintir pengikut.
Kami menilai keputusan untuk mendaftarkan akun media sosial yang sama sekali baru adalah kurang tepat. Ini menunjukkan elit Demokrat tidak memperhatikan dengan saksama strategi membangun isu dan menjaring pemilih via internet.
Untuk mempertahankan keterlibatan publik dan untuk meningkatkan loyalitas mereka kepada partai, akun media sosial harus selalu konsisten sehingga jumlah pengikut atau likes dapat terus tumbuh.
Salah strategi ini ternyata tidak unik di Demokrat saja. Partai-partai lain, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), mendaftarkan banyak akun baru di media sosial kepada KPU sebagai media sosial resmi mereka untuk pemilu 2019 daripada mempertahankan akun yang lebih mapan dan lebih populer.
Kursi di parlemen
Setelah memantau popularitas partai-partai politik di media sosial, kami kemudian memeriksa apakah ada hubungan antara kursi partai di parlemen hasil Pemilu 2014 dan popularitas mereka di media sosial.
Kami menggunakan paket corrplot yang tersedia di aplikasi perangkat lunak RStudio untuk memvisualisasikan matriks korelasi antara kursi partai dan usia akun media sosial mereka.
Gambar di atas menunjukkan bahwa kursi partai hanya memiliki korelasi kuat dan positif (0,67) dengan usia akun Facebook. Kami menyimpulkan ada korelasi antara usia akun medsos dengan jumlah kursi di parlemen hasil pemilu 2014. Semakin tua umur akun Facebook sebuah partai, sebagai contoh, kecenderungannya adalah partai tersebut memiliki kursi yang semakin banyak di parlemen.
Sementara, usia partai memiliki korelasi yang lemah dan negatif dengan popularitas di Facebook / F_L (-0,22) dan YouTube / Y_S (-0,21). Kami berkesimpulan partai yang lebih tua kurang populer di Facebook dan YouTube dibandingkan dengan partai yang lebih muda.
Hal penting lain dari temuan kami adalah bahwa popularitas partai di berbagai platform media sosial memiliki korelasi yang kuat dan positif. Jumlah likes di Facebook sejalan dengan volume pengikut Instagram / I_F (0,80). Hal yang sama berlaku dengan jumlah pelanggan YouTube dan pengikut Twitter, dengan skor 0,75.
Menariknya, usia akun Facebook milik partai dan jumlah likes memiliki skor korelasi yang lebih lemah (0,44) dibandingkan dengan usia akun Instagram / I_A dan pengikut Instagram (0,76) atau di YouTube (0,7) dan Twitter (0,67).
Dengan demikian, riset ini menyimpulkan pola popularitas partai di internet berbeda-beda tergantung pada jenis media sosial. Facebook tampaknya memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan platform media sosial lainnya dalam hal mendulang minat atau dukungan publik.
Prediksi hasil pemilu
Riset tentang penggunaan media sosial oleh partai politik di Indonesia masih akan terus berkembang, mengikuti kian bergeliatnya pemanfaatan jalur ini sebagai wahana berkampanye dan mendulang dukungan. Dengan volume pengguna internet yang terus meningkat, sangat besar peluang bagi partai dan politikus untuk menggunakan akun-akun sosial mereka demi menguatkan profil politik.
Namun, di sisi lain, sebagaimana riset kami menunjukkan, untuk saat ini mayoritas partai di Indonesia belum memanfaatkan internet sebagai medium berkampanye dan merebut dukungan massa. Dan popularitas di jagad maya belum secara akurat diterjemahkan sebagai tingkat kesuksesan elektoral.
Dengan kata lain, kami menemukan bahwa media sosial di Indonesia – baik oleh partai, politikus, dan pemilih – belum terlalu signifikan digunakan sebagai wadah aktivisme politik (political activism).
Itu sebabnya, keriuhan di media sosial belum benar-benar bisa menjadi tolak ukur keberhasilan partai menggiring isu dan mendulang dukungan suara di pemilu. Interaksi di media sosial di Indonesia belum bisa digunakan untuk memprediksi hasil kontestasi politik, baik itu legislatif maupun eksekutif.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conversation.