Suara.com - Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, mengatakan bahwa fenomena cuaca antariksa yang terjadi pada Jumat (15/3/2019) adalah angin Matahari - bukan badai Matahari - yang menyebabkan badai geomagnetik dan pengaruhnya tidak signifikan di Bumi.
Sebelumnya pada Kamis (14/3/2019), sejumlah media mewartakan bahwa badai Matahari akan menerpa Bumi 15 Maret dan berpotensi merusak teknologi berbasis satelit di Bumi seperti GPS, sinyal ponsel, serta layanan televisi.
Badai matahari, yang berupa gelombang-gelombang sinar kosmik itu, disebut berasal dari sebuah lubang korona di atmosfer Matahari. Fenomena cuaca antariksa itu sejatinya terjadi pada 13 Maret, tetapi baru mencapai Bumi pada Jumat.
"Tidak signifikan," kata Thomas ketika dihubungi Suara.com via pesan singkat di Jakarta pada Kamis malam, "Hanya aliran angin Matahari dari lubang korona yang tidak terlalu besar."
Ketika ditanya soal dampak angin Matahari itu terhadap satelit dan teknologi terkait di Bumi, Thomas mengatakan bahwa hal itu salah.
"Tidak benar. Angin Matahari dari lubang korona 13 Maret hanya menyebabkan badai geomagnetik kelas G1. Pengaruhnya tidak signifikan," tegas dia.
Sementara itu lewat akun Twitter resminya, Lapan menjelaskan bahwa lubang korona yang tercipta pada 13 Maret kemarin memang bisa melepaskan angin matahari cepat dan diperkirakan mencapai Bumi dalam dua hari.
"Tetapi efeknya tidak seperti yang diberitakan," tulis akun Twitter @LAPAN_RI.
Angin Matahari sendiri adalah aliran plasma dan partikel bermuatan listrik (proton dan elektron) yang biasa berasal dari lubang korona Matahari dan menyebar ke segala penjuru Tata Surya kita.
Biasanya angin Matahari bisa melesat dengan kecepatan dari 300 km per detik hingga 800 km per detik. Suhunya bisa mencapai 800.000 derajat Celcius.