Suara.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut bahwa penyebaran berita palsu atau hoaks paling besar berasal dari media sosial, khususnya Facebook.
Tenaga Ahli Menkominfo Bidang Kebijakan Digital, Dedy Permadi, mengungkapkan frekuensi penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian via media sosial menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kian meningkat.
"Per 1 Januari - 20 Februari 2019 sedikitnya ada 100 hoaks yang sudah teridentifikasi. Padahal rentang Agustus - Desember tahun lalu saja hanya 66 kasus," ujar Dedy di sesi talkshow Line bertajuk 'Pemuda Peduli Pemilu' di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/3/2019).
Lebih lanjut lagi, Dedy juga membeberkan sistem kerja para penjahat siber yang menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian, terutama lewat platform Facebook.
"Ketika menyebar hoaks, mereka ada polanya. Pertama, mereka bikin akun palsu, lalu membuat thread untuk menyerang pihak tertentu. Selanjutnya, mereka menyebarkannya di multiplatform media sosial. Setelah tersebar dan menjadi viral, mereka langsung menghapus postingan tersebut dan menutup akun agar tidak terdeteksi," lanjut pria yang juga berprofesi sebagai dosen itu.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, sekaligus mengidentifikasi pelaku yang menyebarkan berita hoaks, Kominfo memiliki formula tersendiri.
"Kami punya tim dan teknologi yang bisa melacak pelaku atau pembuat thread tersebut. Selain itu, kami bekerjasama dengan Divisi Cyber Crime Mabes Polri," imbuh Dedy.
Sedangkan untuk membatasi ruang gerak para penjahat siber yang menyebarkan hoaks, Kominfo memiliki langkah antisipatif maupun sanksi hukum.
"Kami bekerja dari hulu ke hilir. Mereka (penyebar hoaks) akan dijerat UU ITE Pasal 27-28. Di tengah, kami memastikan konten media sosial terbebas dari hoaks. Jadi kita bikin regulasi untuk para penyedia media sosial. Sedangkan di hilir, kita menguatkan literasi digital," tandasnya.