Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika terus mendiskusikan perlunya pemodelan tsunami yang disebabkan oleh longsor dan erupsi gunung api di laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda dan Palu pada 2018 lalu.
Kepala Pusat Gempa BMKG Rahmat Triyono di Jakarta, Kamis (28/2/2019), mengatakan skenario itu untuk mengintegrasikan dan melengkapi 18.000 skenario pemodelan tsunami berbasis tektonik yang selama ini digunakan BMKG sebagai langkah mitigasi.
"Belajar dari kemarin kita harus membuat itu. Kita bertemu para pakar tsunami di seluruh dunia, diskusi perlunya ada modeling tsunami yang tidak hanya dipicu tektonik tapi juga longsor bawah laut atau erupsi gunung api. Kami akan lengkapi ke sana," katanya usai acara Ecotalk di Ancol Jakarta.
Sejak tahun ini hingga tiga tahun ke depan, pemerintah juga akan melengkapi sensor seismograf yang kurang, mengingat saat ini desain sistem peringatan dini di wilayah Indonesia masih terbatas.
Selain itu, katanya, akan dipersiapkan penambahan buoy oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan tide gauge dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
"Semua didedikasi untuk sistem pencegahan tsunami di Indonesia," ucap dia.
Meski begitu, Rahmat belum bisa memastikan berapa penambahan jumlah sensor seismograf dan tide gauge. Namun, katanya, jika mengacu perencanaan, BMKG merencanakan ratusan seismograf yang akan dipasang dalam tiga tahun ke depan. Begitu pun dengan tide gauge yang dipersiapkan 20 sampai 30 unit.
"Termasuk akan dipasang buoy-nya yang hilang, radar tsunami juga akan dilengkapi sistem peringatan dini tsunami. Kalau satu gagal kayak di Mamuju, bayangkan hanya satu tide gaude yang berfungsi mencatat adanya tsunami di wilayah seluas itu, bagaimana daerah-daerah lain," kata dia.
Pemodelan tsunami di setiap wilayah yang dibuat saat ini sudah bervariasi, mulai dari magnitudo terendah hingga tertinggi. Angka-angka itu didasarkan pada sejarah tsunami yang pernah terjadi di Indonesia. [Antara]