Suara.com - Dalam ultrasonografi (USG) pra-lahir atau ketika melahirkan, banyak orang tua baru melihat apa yang ada di antara kaki anaknya: keberadaan penis dianggap sebagai tanda bahwa bayi tersebut laki-laki.
Selama ini untuk manusia dan binatang-binatang lain, terbentuknya penis diduga didorong oleh “hormon jantan” (androgen) yang diproduksi seluruhnya oleh testis kelamin laki-laki saat tumbuh dalam rahim.
Namun, sebuah artikel ilmiah baru menunjukkan mungkin hal tersebut bukan jawabannya. Sebaliknya, beberapa hormon terkait laki-laki yang membentuk perkembangan penis mungkin datang dari sumber lain dalam janin. Ini termasuk hati, adrenal (kelenjar kecil yang ditemukan dalam ginjal) dan plasenta.
Untuk pertama kalinya, penelitian ini secara menyeluruh melihat kemungkinan sumber produksi hormon selain testis dan perannya dalam membentuk maskulinisasi—proses mendapatkan karakteristik tipikal lelaki. Ini membantu kita melihat bagaimana kita embrio berkembang, dan mungkin memberikan kita gambaran lebih luas tentang mengapa kelainan pertumbuhan penis kini meningkat.
Testosteron saja tidak cukup
Penis tumbuh dari struktur embrio yang disebut genital tubercle atau GT.
GT hadir pada lelaki dan perempuan, dan tumbuh menjadi antara penis atau klitoris, tergantung dari paparan terhadap hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar kelamin (ovarium atau testis).
Pada perempuan, ovarium yang tumbuh tidak memproduksi hormon awal dan GT-nya menjadi feminim, membentuk klitoris.
Pada laki-laki, testis yang berkembang memproduksi testosteron. Testosteron ini bersirkulasi pada janin yang berkembang dan menyebabkan maskulinisasi dari jaringan target dan membantu pertumbuhan penis dari GT.
Testosteron sendiri adalah hormon yang relatif lemah. Testosteron diubah dalam penis menjadi hormon lain yang disebut dihidrotestosteron (DHT), yang memiliki efek maskulinisasi yang lebih kuat.
Konversi lokal testosteron menjadi DHT dalam jaringan ini yang membuatnya penting dalam pertumbuhan penis dan perubahan lain.
Ada beberapa cara fetus dapat memproduksi DHT. Cara paling sederhana adalah lewat perubahan dari testosteron testikel (yang disebut jalur “reguler”). Namun, DHT juga dapat diproduksi lewat jalur hormon steroid lain yang aktif di banyak jaringan, yang dielaborasi lebih lanjut dalam artikel ilmiah baru ini.
Kelainan kelahiran yang umum
Penting untuk memahami jalur yang mengontrol pertumbuhan penis. Kelainan yang mengganggu pertumbuhan penis adalah salah satu kelainan kelahiran paling umum untuk manusia, dengan hipospadia (kelainan yang menganggu pertumbuhan uretra) yang saat ini menjangkiti sekitar 1 dari setiap 115 laki-laki yang lahir di Australia, dan angka ini akan terus meningkat.
Bahkan, kejadian hipospadia telah berlipat ganda dalam 40 tahun terakhir. Peningkatan kejadian yang begitu cepat telah dikaitkan dengan faktor lingkungan, dengan bahan kimia pengganggu endokrin (EDC) dianggap sebagai penyebab utama. EDC adalah bahan kimia buatan manusia yang digunakan di banyak industri—contohnya, dalam produksi plastik, kosmetik, penghambat api, dan pestisida. Mereka dapat mengganggu hormon dan sistem metabolisme dalam tubuh kita.
Dari 1.484 EDC yang teridentifikasi saat ini, sebagian besarnya diketahui dapat mengganggu pertumbuhan alat reproduksi laki-laki.
Banyak penelitian yang mengidentifikasi bagaimana EDC mengganggu organ-organ, seperti hati dan adrenal, yang menyebabkan penyakit dan kelainan yang merusak kesehatan organ ini dan mengganggu pertumbuhan laki-laki.
Jalur “pintu belakang”
Dengan mengukur hormon dari sampel darah dan jaringan selama trimester kedua dari pertumbuhan janin manusia, penelitian baru ini dapat membantu kita memahami jalur produksi DHT dan maskulinisasi penis.
Riset ini mengisyaratkan bahwa selain jalur yang sudah ada (testosteron dari testis diubah menjadi DHT dalam GT dan membentuk pertumbuhan penis), steroid laki-laki dihasilkan oleh organ lain seperti plasenta, hati, dan kelenjar adrenal lewat sebuah proses yang disebut jalur “pintu belakang” untuk membantu maskulinisasi. Jalur pintu belakang ini pertama kali ditemukan lewat penelitian yang dilakukan di Australia terhadap mamalia berkantung.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan EDC mungkin memiliki efek dalam jaringan non-reproduksi, termasuk adrenal dan hati, dan lalu menyebabkan penyakit reproduksi laki-laki seperti hipospadia.
Hal ini juga mengindikasikan cacat plasenta, seperti pembatasan pertumbuhan intrauterin yang menghasilkan bayi lahir dengan ukuran kecil, dapat berkontribusi terhadap penyakit reproduksi laki-laki pada manusia.
Penelitian berikutnya diperlukan untuk melanjutkan temuan menarik ini untuk mencari kemungkinan jalur baru dari kelainan yang dimulai dalam masa kehamilan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.