Suara.com - Kehadiran 4G membuat ekosistem DNA (device, network, application) semakin berkembang di Indonesia. Namun di tengah meningkatnya pengguna smartphone yang mendorong lonjakan konsumsi data, industri seluler sesungguhnya terbilang rapuh.
Tengok saja hingga semester pertama 2018, kinerja operator terus melorot, bahkan sudah mengalami "negative growth" baik dari sisi pendapatan (-12,3 persen) dan juga EBITDA (-24,3 persen). Industri telekomunikasi Indonesia pun diproyeksi tumbuh negatif 6,4 persen pada 2018.
Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat. Pasalnya pada 2016, industri selular masih tumbuh sebesar 10 persen.
Namun, rendahnya tarif data, tidak bisa mengimbangi turunnya layanan suara dan SMS. Layanan basic itu, semakin kurang diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT. Alhasil, pertumbuhan menciut menjadi 9 persen di akhir 2017.
Baca Juga: Solari Tanggapi Kekalahan Teranyar Real Madrid
Tumbuhnya konsumsi data masyarakat yang mengakses layanan OTT ini pun dianggap sebagai beban industri karena harga paket internet yang terlalu murah.
Rendahnya tarif data yang dibarengi dengan dampak dari kebijakan registrasi pra bayar, dan kondisi ekonomi makro yang tak kondusif seperti kurs rupiah yang masih tertekan terhadap dolar pun membuat operator menutup 2018 dengan kinerja yang kurang menggembirakan.
Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mencatat, rata-rata penggunaan data pada 2014 hanya 0,3 gigabyte (GB) per bulan. Angka itu tumbuh menjadi 3,5 GB per bulan pada 2018. Tahun ini, estimasi konsumsi data di Indonesia mencapai 4,8 GB dan meningkat terus menjadi 6 GB pada 2021.
"Harga layanan data Indonesia yang termurah di dunia, hanya sedikit di atas India," ungkap Ketua ATSI, Ririek Adriansyah dalam acara Selular Business Forum di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (17/1/2019) malam.
Padahal untuk memenuhi permintaan layanan data yang naik 3,5 kali lipat dalam lima tahun ke depan, dikatakan Ririk perlu tambahan modal. "Kami perlu investasi untuk menambah kapasitas," ujar Ririek.
Baca Juga: Persib Punya Pelatih Kiper Anyar, Siap Gunakan Metode Latihan Timnas
Dalam kesempatan yang sama, Kristiono selaku Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) juga menyebutkan bahwa harga layanan data di Indonesia justru menurun dari Rp 1 per kilobyte (kb) pada 2010 menjadi Rp 0,015 per kb pada 2018.
"Penurunan harga mencapai 40 persen per megabyte (MB) inilah yang jadi masalahnya," jelas Kristiono.
Sementara, menurut Kristiono, murahnya tarif layanan data ini justru menguntungkan perusahaan digital yang penggunaan produknya lebih banyak menggunakan kuota data.
"E-commerce tumbuh di tengah infrastrukturnya, yakni telekomunikasi yang menurun. Jadi seperti benalu saja," katanya.