Begini Rumitnya Ubah Mars Jadi Tempat Layak Huni

Kamis, 03 Januari 2019 | 14:49 WIB
Begini Rumitnya Ubah Mars Jadi Tempat Layak Huni
Ilustrasi planet Mars. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ide melakukan teraformasi pada Mars telah menjadi bahan pembicaraan hangat di dunia astronomi. Mengubah Mars menjadi tempat layak huni seperti Bumi memiliki sejumlah resiko yang harus dihadapi, seperti radiasi mematikan dari kosmos, potensi kehilangan penglihatan, tulang berhenti berkembang, dan lapisan atmosfer yang berbeda.

Rumitnya proses teraformasi tersebut membuat para ilmuwan harus memikirkan solusi. Salah satunya adalah solusi umum dengan melepaskan gas karbon dioksida yang terperangkap di permukaan Mars untuk menebalkan atmosfer.

Meskipun atmosfer Mars saat ini sebagian besar terdiri dari karbon dioksida, tetapi masih terlalu tipis dan dingin untuk mendukung keberadaan air dalam bentuk cair di permukaanya. Di Mars, tekanan atmosfer kurang dari satu persen dari tekanan atmosfer Bumi, menyebabkan setiap air cair di permukaan Mars akan cepat menguap atau membeku.

Para pendukung teraformasi Mars sendiri telah mengusulkan pelepasan gas dari berbagai sumber di Mars untuk menebalkan atmosfer dan meningkatkan suhu ke titik, di mana air cair secara stabil bisa tetap tersedia di permukaan Mars. Gas-gas tersebut disebut dengan "gas rumah kaca" karena kemampuannya untuk memerangkap panas dan menghangatkan iklim.

Baca Juga: Terobsesi, Pasangan Ini Mau Pindah ke Mars di Tahun 2032

"Karbon dioksida dan uap air adalah gas rumah kaca yang mungkin ada di Mars dalam jumlah yang cukup untuk melangsungkap penghangatan planet yang signifikan," ucap Bruce Jakosky dari Universitas Colorado, Boulder, Amerika Serikat, seperti dikutip dari NASA.gov.

Meski begitu, sebuah studi dari Nature.com menunjukkan bahwa tidak ada cukup gas karbon dioksida yang tersisa di Mars untuk melakukan penghangatan planet. Selain itu, sebagian besar gas karbon dioksida tidak dapat diproses dan kemungkinan teraformasi Mars tidak mungkin dilakukan menggunakan teknologi saat ini.

Tekanan atmosfer di Mars sekitar 0,6 persen dari Bumi. Jarak Mars yang jauh dari Matahari membuat para ahli memperkirakan tekanan karbon dioksida yang serupa dengan tekanan atmosfer total Bumi, diperlukan untuk menaikkan suhu yang cukup untuk memungkinkan air cair yang stabil.

Sumber karbon dioksida yang paling mudah diakses adalah di lapisan es kutub Mars. Es kering di sana dapat diuapkan dengan menyebarkan debu di atasnya untuk menyerap lebih banyak radiasi Matahari atau dengan menggunakan bahan peladak.

Namun, menguapkan es kering hanya akan menyumbang karbon dioksida yang bisa menggandakan tekanan Mars menjadi 1,2 persen dari Bumi. Sayangnya, jumlah tersebut masih belum cukup.

Baca Juga: Wah, Peneliti Temukan Kawah Putih Berisi Es di Planet Mars

Sumber karbon dioksida lain di Mars diketahui menempel pada partikel debu di tanah Mars yang dapat dipanaskan untuk dilepaskan. Para ahli memperkirakan bahwa memanaskan tanah dapat menambah tekanan Mars menjadi sekitar 4 persen dari tekanan yang dibutuhkan.

Sementara itu, sumber lainnya terkunci dalam deposit mineral. Menurut data pengamatan, jika para ahli memanfaatkan sumber karbon dioksida tersebut hanya akan menghasilkan kurang dari 5 persen dari tekanan yang dibutuhkan.

Sayangnya, jumlah-jumlah tersebut masih terlalu kecil. Meskipun permukaan Mars tidak ramah terhadap bentuk kehidupan yang diketahui saat ini, fitur yang menyerupai dasar sungai kering dan endapan mineral yang teramati memberikan bukti bahwa di masa lalu, iklim Mars mendukung air cair di permukaannya.

Akibat radiasi dan angin Matahari, Mars memiliki atmosfer yang sangat tipis dengan suhu permukaan yang sangat dingin. Meskipun ada gagasan lain untuk melakukan teraformasi Mars dengan mengimpor volatil, ide tersebut dinilai terlalu sulit untuk dilakukan.

Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan bahwa mengubah Mars menjadi seperti Bumi masih belum dapat dilakukan dengan teknologi yang ada saat ini. Kemungkinan hal itu baru dapat terjadi di masa mendatang, mungkin saat kehidupan manusia sudah memasuki abad ke-22.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI