Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa fenomena hujan es, seperti yang terjadi di Jakarta pada Kamis (22/11/2018) lazim terjadi di masa transisi atau pancaroba.
"Kejadian hujan es disertai kilat dan angin kecang berdurasi singkat banyak terjadi di masa transisi atau pancaroba musim baik musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya," terang BMKG dalam website resminya.
Lebih lanjut BMKG menjelaskan bahwa hujan es disertai petir dan angin biasanya bisa diprediksi dengan mengamati perubahan-perubahan di sekitar kita.
Indikator pertama, jelas BMKG, biasanya sehari atau satu malam sebelum hujan es terjadi, suhu udara terasa lebih panas dan gerah.
"Udara terasa panas dan gerah diakibatkan adanya radiasi matahari yang cukup kuat, ditunjukkan oleh nilai perbedaan suhu udara antara pukul 10.00 dan 07.00 LT (> 4.5°C) disertai dengan kelembaban yang cukup tinggi ditunjukkan oleh nilai kelembaban udara di lapisan 700 mb (> 60%)," beber BMKG.
Petunjuk kedua, terlihatnya awan Cumulus (awan putih berlapis-lapis) sekitar pukul 10.00 pagi dan di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol.
"Tahap berikutnya awan tersebut akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau hitam yang dikenal dengan awan Cumulonimbus," lanjut BMKG sembari menambahkan bahwa sebelum hujan es turun biasanya tiba-tiba terjadi hujan deras.
Hujan es terpantau terjadi di Jakarta, khususnya di daerah Semanggi, Jakarta Pusat pada Kamis petang. Hujan es itu sendiri tak berlangsung lama, diperkirakan kurang dari satu jam saja.