Ketika ditugaskan di Pulau Lubang, Filipina, Hiroo Onoda masih berusia 22 tahun dan mendapat jabatan sebagai perwira intelijen. Tugas utamanya adalah untuk terus mengganggu dan menyabotasi upaya musuh, serta tidak pernah menyerah pada musuh.
Setelah diserang habis-habisan oleh Sekutu pada Februari 1945, Hiroo Onoda dan beberapa prajurit berhasil meloloskan diri dan menolak untuk menyerah dan mati.
Walaupun Jepang sudah menyerah dan balik ke negaranya, Hiroo Onoda dan beberapa pasukannya tetap memilih untuk melakukan gerilya dan siap mati demi negara.
Sempat beberapa kali berjuang melawan, pasukan Hiroo Onoda lalu berkurang hingga akhirnya hanya ada dirinya di Pulau Lubang tersebut.
Bertahun-tahun dianggap sebagai legenda tanpa ada yang tahu nasibnya, akhirnya pada 1974, seorang petualang bernama Norio Suzuki mencoba mencari Hiroo Onoda di Pulau Lubang.
Keduanya lalu bertemu. Namun, saat diajak untuk kembali ke Jepang, Hiroo Onoda menolak tawaran tersebut. Ia mengaku tidak akan menyerah kecuali mendapat perintah dari atasannya.
Sangat berharap agar Hiroo Onoda akan kembali ke Jepang, Norio Suzuki lalu mencoba menemukan atasan Onoda yang bernama Mayor Yoshimi Taniguchi yang sudah tua dan memilih pensiun.
Mendapatkan surat perintah dari atasan Hiroo Onoda, Norio Suzuki kembali ke Pulau Lubang untuk membawa Onoda pulang.
Tiga hari setelah kedatangan Norio Suzuki, Hiroo Onoda lalu menyerahkan pedangnya pada Presiden Filipina, Ferdinand Marcos sebagai tanda menyerah dan meminta pengampunan dari negara tersebut.
Kembali ke Jepang, Hiroo Onoda disambut bak pahlawan. Pria dengan loyalitas tinggi ini membuktikan diri sebagai prajurit yang setia dengan atasan selama bertempur di Perang Dunia II.