Suara.com - Indonesia perlahan mulai menuju ekosistem digital terbesar di Asia Tenggara, seiring dengan pertumbuhan bisnis e-commerce yang mencapai rata-rata 17 persen selama lima tahun terakhir. Menurut survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), terdapat 143,26 juta orang Indonesia menggunakan internet pada akhir 2017.
Besarnya pengguna internet merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi perusahaan rintisan (start up). Alhasil, bisnis rintisan berbasis teknologi tersebut semakin berkembang pesat. Bahkan, beberapa di antaranya sudah termasuk dalam jajaran 'unicorn', yakni start up dengan valuasi di atas USD1 miliar atau lebih dari Rp 13 triliun.
Rudiantara, Menteri Kominfo dalam Konvensi Internasional Next Indonesia Unicorn (NextIcorn) belum lama ini mengatakan, akan membuka kran investasi untuk para startup Indonesia.
“Tujuannya mempersingkat proses berinvestasi dengan menyediakan investor yang serius dari seluruh dunia dengan start-up Indonesia agar mudah menjadi unicorn," jelas Rudiantara keterangan resminya.
Baca Juga: Ajang Ini Kumpulkan Startup Muda Kreatif
Seperti diketahui sejak 2015, terdapat empat perusahaan rintisan yang sudah berpredikat unicorn di Indonesia, yakni GoJek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak.
Dari keempat unicorn tersebut, tak dapat dipungkiri GoJek menjadi unicorn yang paling bersinar. Derasnya kucuran dana asing membuat kinerja GoJek dengan cepat melejit. Menurut catatan lembaga kajian ekonomi digital, Sharing Vision, hanya dalam tempo kurang dari 10 tahun, GoJek telah berkembang sangat cepat.
Tercatat, GoJek memiliki 2.900 karyawan di 3 negara, 65 juta pengguna, 1,2 juta mitra driver, 300 ribu merchant, serta tersebar ke 75 kota dari Aceh ke Papua.
Kini Go-Jek tak hanya menawarkan layanan jasa transportasi sepeda motor, taksi dan mobil. Perusahaan ini juga melayani pembelian makanan, belanja di toko, pulsa, tiket hingga jasa bersih-bersih rumah. Go-Jek juga melengkapi bisnisnya dengan pembayaran digital bertajuk GoPay. Bisnis pembayaran mobile inilah yang disebut-sebut oleh Reuters menarik minat para investor.
Dua perusahaan investasi papan atas asal AS, Sequoia Capital dan Warburg Pincus LLC, menjadi pemilik GoJek sejak 2015. Investor lain adalah Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures, Formation Group, KKR, Farallon Capital, dan Capital Group Private Markets.
Baca Juga: Startup Unicorn Indonesia Bisa Jadi Raja di Negeri Sendiri
Sokongan para investor asing pada unicorn pertama Indonesia itu, diperkuat dengan kehadiran Google yang menggelontorkan dana Rp 16 Triliun pada akhir 2017. Menyusul kemudian, konglomerat lokal Astra International dengan dana investasi Rp 2 triliun.
Selain investor asal AS, sinar terang GoJek juga menarik minat pemodal Cina. Tiga perusahaan raksasa Cina, yakni Tencent, JD.com dan Meituan Dianping juga telah menjadi pemilik Go-Jek.
Saat ini, aliansi tiga investor tersebut memegang lebih dari 80 persen bagian saham Go-Jek.
Dengan banyaknya investor asing yang terlibat dalam bisnis GoJek, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi pernah mengungkapkan bahwa sekitar 99 persen saham Go-Jek kini sudah dikuasai asing.
Besarnya kepemilikan asing di GoJek, memperlihatkan bahwa bisnis unicorn Indonesia kini telah menjadi magnet bagi investor asing, termasuk korporasi besar dari Cina. Namun hal itu juga memberikan dilema. Pasalnya, dalam jangka panjang ekonomi Indonesia akan dikuasai asing.
Direktur Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai bahwa pemerintah terlambat dalam menyusun peta jalan bisnis digital. Menurutnya, guna menghindari polemik yang bakal muncul, Enny mendesak Pemerintah untuk segera membuat aturan menyangkut investasi di startup digital.
"Regulasi tidak ada. Yang sekarang hanya bersifat parsial. Contoh ride sharing hanya diatur PP Menhub. Itu pun hingga hari ini belum jelas," katanya.
Lebih lanjut, Enny menilai, pemerintah sejauh ini kurang antisipasi terhadap perubahan lingkungan bisnis yang bergerak ke arah digital.