Suara.com - Baru-baru ini media sosial dan media massa menyebarkan drama dugaan penganiayaan yang terjadi pada aktor teater Ratna Sarumpaet. Belakangan terungkap Ratna berbohong mengenai penganiayaan terhadapnya. Polisi dengan cepat menunjukkan bahwa muka Ratna lebam dan bengkak bukan karena dianiaya oleh orang di Bandung, tapi dampak dari sedot lemak yang dilakukan oleh dokter bedah plastik di rumah sakit di Jakarta.
Sampai kini motif sebenarnya kebohongan itu masih kabur. Namun posisi Ratna sebagai juru bicara tim pemenangan calon Presiden Prabowo Subianto membuat publik langsung mengkaitkan motif Ratna berbohong dengan kepentingan politik kelompoknya.
Sadar anggota timnya bikin blunder, Prabowo buru-buru minta maaf atas kegaduhan tersebut. Ratna kemudian mundur dari tim kampanye Prabowo.
Sebelumnya, Prabowo sampai menggelar konferensi pers khusus dan menyatakan penganiayaan Ratna “di luar perikemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan tindakan pengecut terhadap ibu berusia 70 tahun.”
Dalam sejarah politik Indonesia, presiden dan menteri juga pernah ditipu oleh pembohong dengan kisah yang berbeda, tetapi mengapa Prabowo dan timnya mudah sekali terperdaya oleh kebohongan Ratna Sarumpaet? Lalu, mengapa Ratna begitu mudahnya mengarang cerita yang tak pernah terjadi?
Bias kognitif dan kabar bohong
Manusia menggunakan dua strategi pemrosesan informasi, yaitu proses yang intuitif dan instan (tipe 1) dan proses yang sifatnya analitis dan cermat (tipe 2). Ada banyak temuan penelitian yang mendukung kesimpulan bahwa manusia cenderung menggunakan tipe yang pertama.
Coba kita simak salah satu pertanyaan dalam Cognitive Reflection Test (CRF) berikut ini:
“Sebuah alat pemukul dan bola bisbol harganya total US$1.10. Alat pemukul harganya US$1 lebih mahal daripada bola. Berapa harga bola?”
Kebanyakan orang akan menjawab dengan cepat bahwa harga bola adalah US$0.10, padahal jawaban ini tidak masuk akal. Kalau harga bola US$0.10, maka harga alat pemukul ditambah bola adalah US$1.20. Ini menunjukkan strategi intuitif (tipe 1) akan menghasilkan kesimpulan yang cepat, tapi tidak akurat. Dengan menggunakan perhitungan aritmatika sederhana, harga bola seharusnya US$0.05 dan harga pemukul US$1.05.
Manusia pada dasarnya adalah cognitive miser, cenderung menyukai jalan pintas kognitif dalam menyimpulkan informasi, dan sebaliknya, menghindari situasi yang menuntut pemikiran mendalam, analitis, dan reflektif. Lebih-lebih ketika kita dihadapkan pada informasi yang bombastis, mengandung elemen emosional yang ekstrem–seketika dapat membangkitkan rasa marah, kesal, benci atau kagum berlebihan. Inilah celah kealpaan kita yang dimanfaatkan oleh para produsen hoaks.
Dalam memilah fakta dengan kabar bohong, kita cenderung terdistorsi dengan bias kognitif. Dalam menilai suatu kebohongan, individu menerapkan standar ganda–ketika orang lain berbohong, penilaian yang diberikan lebih negatif daripada jika dirinya sendiri yang berbohong.
Dalam relasi antar-kelompok, cara pandang kita terhadap kabar bohong akan terkontaminasi oleh bias kelompok (ingroup-outgroup bias), yang terjadi ketika kebohongan “orang dalam” terlihat lebih meyakinkan daripada fakta yang ditunjukkan oleh “orang luar”.
Logika partisan dan ilusi superior
Dalam situasi seperti ini, seorang partisan yang percaya berita bohong cenderung menolak untuk mengubah pendiriannya, meski sudah ditunjukkan fakta-fakta yang bertentangan dengan pendapatnya. Seorang partisan cenderung hanya mau percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya, serta mengabaikan semua hal yang bertentangan dengan pendiriannya.
Dalam psikologi sosial fenomena ini disebut dengan bias konfirmasi. Bias ini lebih parah bila partisan tersebut memiliki kapasitas intelektual yang cenderung rendah.
Beberapa studi setelah kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan kognitif yang rendah justru akan menganggap diri mereka sangat kompeten, padahal sebenarnya tidak. Sebab mereka terjangkit ilusi bahwa dirinya superior, sehingga menganggap kompetensi mereka di atas rata-rata orang kebanyakan. Fenomena ini dikenal sebagai efek Dunning-Kruger.
Bohong dan tipu daya
Dari penjelasan di atas, penelitian menunjukkan manusia cenderung mudah dikelabui. Terlepas dari mudahnya manusia mempercayai kebohongan, kita perlu menyelidiki juga mengapa manusia berbohong.
Psikolog Sosial dari University of California Santa Barbara Bella DiPaulo dan koleganya menginvestigasi mengapa manusia cenderung berbohong dengan meminta 147 responden mencatat kegiatan mereka sehari-hari dalam sebuah diari selama seminggu. Dalam studi tersebut, responden penelitian melaporkan bahwa rata-rata mereka berbohong 1-2 kali setiap harinya.
Kebohongan yang dilakukan partisipan kebanyakan kebohongan ringan yang tak berbahaya atau intensional. Kebohongan minor biasanya dilakukan untuk menutupi kekurangan mereka atau mencegah agar perasaan orang lain tidak terluka.
Umumnya, kebohongan terjadi karena ada motif mencari keuntungan pribadi dan motif ini erat kaitannya dengan tujuan interaksi sosial. Seseorang berbohong untuk mendapatkan pengaruh atas orang lain, mendapatkan dukungan sosial, bahkan dapat digunakan untuk membantu dan mendukung orang lain.
Beberapa kebohongan lainnya yang dilaporkan cenderung menunjukkan derajat amoralitas, misalnya seperti berbohong bahwa “saya adalah kerabat presiden”, biasanya bertujuan untuk membentuk citra diri yang positif. Tujuan utamanya agar orang lain membentuk kesan positif tentang dirinya, meski dengan cara yang kurang pantas.
Sebutan pathological liar sering digunakan untuk menandai seseorang yang ketahuan berulang kali berbohong tanpa menunjukkan rasa penyesalan. Memang, kebohongan berulang sering dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental seperti kecenderungan antisosial, narsistik, dan psikopati. Namun ada banyak kasus pembohong tidak menunjukkan gejala-gejala lainnya, sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan-gangguan tersebut.
Kebohongan tidak terbatas pada konteks interpersonal, karena dapat juga diproduksi oleh institusi sosial. Filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci menyebut hegemoni sebagai narasi yang sengaja dibentuk oleh perangkat negara untuk mencengkeram nalar publik, agar tak digunakan untuk mengganggu kekuasaan.
Konsep ini lahir dari perenungan Gramsci ketika dia dipenjara rezim Benito Mussolini. Mulanya, ia gelisah melihat kelas pekerja di Italia yang pasrah, bahkan merayakan ketertindasan yang mereka alami. Kebohongan yang direproduksi oleh perangkat negara adalah yang paling meyakinkan, sekaligus yang paling berbahaya.
Studi Noam Chomsky dan Edward Herman pada konten pemberitaan media massa utamanya pada masa Perang Dingin, Perang Teluk dan setelah kejadian 9/11 menunjukkan bahwa media massa punya peran penting dalam membentuk persepsi publik–dengan narasi dan sudut pandang yang dibentuk dengan tujuan melindungi kepentingan elit.
Di era digital saat ini, produsen informasi bohong (hoax) tidak selalu menggunakan media massa arus utama sebagai saluran utama untuk mendistribusikan kebohongan, karena media sosial terbukti sebagai alat yang jauh lebih ampuh untuk mengamplifikasi penyebaran kabar bohong.
Betapa serius dan berbahayanya penyebaran kabar bohong. Persoalan ini ternyata bukan sekadar perkara terbatasnya kemampuan manusia mencerna dan memilah informasi, tapi menunjukkan adanya krisis moral yang terjadi dalam masyarakat kita.
Alat mencegah tipu daya: skeptisisme
Apakah orang berpendidikan tinggi lebih kritis terhadap kabar bohong? Kenyataannya, kita sering terheran-heran bahwa rekan kerja, tetangga atau keluarga dan kerabat kita yang berpendidikan tinggi percaya, bahkan membagikan kabar bohong dan teori konspirasi di akun media sosialnya.
Riset yang dilakukan Sam Wineburg dari Stanford University menunjukkan tidak ada kaitan antara kecerdasan dengan kemampuan mendeteksi berita bohong. Kemampuan seseorang berpikir analitis baru ampuh bekerja memfilter kabar bohong, ketika ditemani oleh nilai yang dihayati individu atas pentingnya bersikap skeptis dalam mencerna informasi.
Pendidikan dan inteligensi saja tak cukup menjadi filter, sehingga kita perlu menjadikan skeptisisme sebagai modal utama untuk menangkal hoaks di media sosial. Seperti yang nyatakan oleh filsuf Rasionalisme Prancis Rene Descartes bahwa “…keraguan adalah muasal datangnya kebijaksanaan”.
Artikel ini sudah tayang di The Conversation.