Manusia pada dasarnya adalah cognitive miser, cenderung menyukai jalan pintas kognitif dalam menyimpulkan informasi, dan sebaliknya, menghindari situasi yang menuntut pemikiran mendalam, analitis, dan reflektif. Lebih-lebih ketika kita dihadapkan pada informasi yang bombastis, mengandung elemen emosional yang ekstrem–seketika dapat membangkitkan rasa marah, kesal, benci atau kagum berlebihan. Inilah celah kealpaan kita yang dimanfaatkan oleh para produsen hoaks.
Dalam memilah fakta dengan kabar bohong, kita cenderung terdistorsi dengan bias kognitif. Dalam menilai suatu kebohongan, individu menerapkan standar ganda–ketika orang lain berbohong, penilaian yang diberikan lebih negatif daripada jika dirinya sendiri yang berbohong.
Dalam relasi antar-kelompok, cara pandang kita terhadap kabar bohong akan terkontaminasi oleh bias kelompok (ingroup-outgroup bias), yang terjadi ketika kebohongan “orang dalam” terlihat lebih meyakinkan daripada fakta yang ditunjukkan oleh “orang luar”.
Logika partisan dan ilusi superior
Dalam situasi seperti ini, seorang partisan yang percaya berita bohong cenderung menolak untuk mengubah pendiriannya, meski sudah ditunjukkan fakta-fakta yang bertentangan dengan pendapatnya. Seorang partisan cenderung hanya mau percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya, serta mengabaikan semua hal yang bertentangan dengan pendiriannya.
Dalam psikologi sosial fenomena ini disebut dengan bias konfirmasi. Bias ini lebih parah bila partisan tersebut memiliki kapasitas intelektual yang cenderung rendah.
Beberapa studi setelah kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan kognitif yang rendah justru akan menganggap diri mereka sangat kompeten, padahal sebenarnya tidak. Sebab mereka terjangkit ilusi bahwa dirinya superior, sehingga menganggap kompetensi mereka di atas rata-rata orang kebanyakan. Fenomena ini dikenal sebagai efek Dunning-Kruger.
Bohong dan tipu daya
Dari penjelasan di atas, penelitian menunjukkan manusia cenderung mudah dikelabui. Terlepas dari mudahnya manusia mempercayai kebohongan, kita perlu menyelidiki juga mengapa manusia berbohong.
Psikolog Sosial dari University of California Santa Barbara Bella DiPaulo dan koleganya menginvestigasi mengapa manusia cenderung berbohong dengan meminta 147 responden mencatat kegiatan mereka sehari-hari dalam sebuah diari selama seminggu. Dalam studi tersebut, responden penelitian melaporkan bahwa rata-rata mereka berbohong 1-2 kali setiap harinya.