Suara.com - Gempa berkekuatan 7,5 pada Jumat 28 September yang mengguncang Donggala dan Palu di Sulawesi Tengah menyebabkan tsunami dan kehancuran yang menelan korban lebih dari 1700 orang. Tak lama, banyak masyarakat terkejut melihat di media sosial gambar dan video dari lokasi bencana yang memperlihatkan tanah yang mengalir seperti sungai menyeret bangunan rumah, pohon dan langsung menenggelamkannya.
Proses bergeraknya tanah itu disebut likuifaksi, yaitu kondisi tanah yang kehilangan kekuatannya akibat gempa sehingga daya dukung tanah turun secara mendadak. Selain guncangan dan potensi air bah dari tsunami, likuifaksi adalah fenomena alam yang juga perlu diwaspadai ketika terjadi gempa.
Likuifaksi dapat berbahaya bagi manusia jika pemukiman berada di atas tanah yang mengalami likuifaksi tersebut. Perumahan Balaroa di Palu Barat, Petobo di Palu Selatan dan Jalan Dewi Sartika di Palu Selatan terlihat masih utuh setelah gempa dan tidak pula dihanyutkan gelombang tsunami. Tapi beberapa saat setelah gempa, ribuan rumah rakyat di dua desa itu lenyap ditelan bumi karena likuifaksi.
Kompas TV melaporkan luas kawasan yang terdampak likuifaksi di Palu mencapai 320 hektare. Walau likuifaksi baru menjadi populer minggu ini, kerentanan daerah Palu terhadap likuifaksi sebenarnya sudah dikaji. Pada 2012, peneliti Risna Widyaningrum dari Badan Geologi Indonesia melakukan kajian geologi teknik potensi likuifaksi di Palu. Risna menyimpulkan bahwa daerah di Palu sebagian besar memiliki potensi sangat tinggi terhadap likuifaksi.
Tekstur tanah
Ilmu tanah dapat menjelaskan bagaimana tanah yang padat, kuat, dan diduduki bangunan bisa menghanyutkan ribuan rumah.
Tanah terdiri dari partikel-partikel berbagai ukuran yang lebih kecil dari 2 milimeter. Partikel-partikel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukurannnya: yang terbesar adalah pasir (diameter 0,05 sampai ≤ 2 mm), debu (2 mikron sampai ≤ 0,05 mm), dan yang paling halus disebut liat (≤ 2 mikron).
Kombinasi kadar ketiga kelompok tanah tersebut menentukan tekstur atau jenis tanah. Ada tanah yang mempunyai tekstur kasar bila pasir lebih dominan dibandingkan liat dan debu dalam pasir tersebut. Ada tanah yang dikelompokkan bertekstur sedang dan bertekstur halus. Semakin kasar tekstur tanah maka semakin rentan tanah tersebut mengalami likuifasi.
Partikel liat berperan sebagai perekat partikel-partikel tanah yang lebih besar sehingga mereka bersatu membentuk agregat. Agregat tanah yang kuat dan mantap akan menyokong pertumbuhan akar. Pohon menjadi besar dan tinggi karena tumbuh dengan baik pada tanah beragregat kuat sehingga bisa mendukung perkembangan akar dan batangnya kokoh. Tanah beragregat kuat dan mantap menjadi tapak dan fondasi untuk rumah dan bangunan lain yang ada di atasnya.
Di antara partikel tadi atau agregat tanah, terdapat rongga atau kita sebut pori tanah. Pori-pori tanah tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyediakan air dan udara kepada akar tanaman. Semakin halus ukuran pori semakin kuat daya pegang airnya. Sebaliknya pori yang besar mudah kehilangan air.
Tanah menjadi kering jika tidak ada air yang tersimpan pada pori tanah. Ketika hujan, butiran air yang masuk ke dalam tanah akan mengisi pori tersebut. Jika seluruh pori terisi air maka tanah akan jenuh air dan selanjutnya tergenang. Saat pori-pori tanah jenuh dengan air, maka kekuatan tanah akan berkurang. Molekul air mengisi pori-pori tanah dan membentuk lapisan-lapisan dengan partikel tanah.
Semakin banyak lapisan air yang terbentuk, maka ikatan antar partikel tanah menjadi lemah. Liat sebagai partikel tanah terhalus akan terdispersi atau terpisah dan menyebabkan air hujan yang bening menjadi keruh.
Dalam bentuk yang sederhana dapat kita amati pada kehidupan sehari-hari misalnya setelah hujan, tanah menjadi becek dan berlumpur. Tanah sawah sesudah digenangi air dan dibajak akan menjadi lumpur. Bencana tanah longsor terjadi setelah hujan lebat karena tanah jenuh air dan kehilangan kekuatan daya ikatnya.
Penyebab dan potensi likuifaksi
Sewaktu gempa di Palu, guncangan kuat di bawah bumi mengakibatkan air tanah naik ke permukaan dengan tekanan yang tinggi. Tekanan air dalam pori-pori dengan cepat menjenuhi tanah mengakibatkan partikel-partikel tanah terpisah, dan tanah kehilangan kekuatannya. Dengan cepat tanah menjadi lumpur dan bangunan di atasnya roboh. Kekuatan guncangan juga mengaduk air tanah sehingga tanah yang telah menjadi lumpur mengalir seperti sungai menghanyutkan apapun yang ada di atasnya, bangunan rumah, jembatan, dan tanaman.
Secara sederhana kita dapat menguji dengan mengambil segumpal tanah berpasir dan tanah liat. Kita tuangkan air ke tanah liat, lalu diremas maka akan terbentuk bongkahan yang padat. Sebaliknya pada tanah berpasir tidak akan terbentuk bongkahan malah tanah mencair.
Bagaimana tekstur tanah mempengaruhi kekuatannya menyokong bangunan di atasnya ketika terjadi gempa? Tanah bertekstur halus akan kuat menyangga bangunan jika terguncang gempa walau ada air tanah naik ke atas. Sebaliknya, tanah bertekstur pasir akan bertransformasi menjadi fase cair dan tidak sanggup menahan beban bangun di atasnya. Likuifaksi lebih rentan terjadi di daerah dataran rendah aluvial yang tanahnya didominasi oleh pasir dengan muka air tanah yang dangkal.
Kerentanan suatu kawasan terhadap bahaya likuifaksi dapat diketahui dengan menggunakan indeks potensi likuifaksi (Liquefaction Potential Index = LPI). Akibat seringnya Jepang dilanda gempa bumi yang disusul likuifaksi, Toshio Iwasaki (1978) menyusun LPI. Indeks potensi likuifaksi berkisar antara nilai 0 (nol) artinya indeks sangat rendah; nilai antara 0 dan 5, tergolong rendah; nilai antara 5 dan 15, termasuk tinggi; dan nilai indeks >15 sangat tinggi.
Indeks ini diformulasi dengan memperhitungkan kelompok tanah dan skala kekuatan gempa. Tanah yang didominasi oleh pasir tergolong sangat rentan dan memiliki LPI > 15. Sedangkan tanah yang bertekstur halus memiliki LPI < 5.
Tidak hanya menyusun LPI, Iwasaki juga menyarankan cara mendesain bangunan di wilayah rentan likuifaksi jika kondisi ini tak bisa dihindarkan. Di Jepang, temuan dan saran para ahli ini sangat dihargai dan dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, praktisi dan pengusaha serta masyarakat awam.
Penelitian yang diabaikan
Para ahli melaporkan bahwa potensi likuifaksi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
- Di bawah permukaan tanah terdapat lapisan berpasir kurang dari 12 meter.
- Kedalaman muka air tanah < 10 m.
- Kekuatan gempa.
Laporan hasil penelitian Risna Widyaningrum, memaparkan geologi, dan kegempaan yang sering berulang di kawasan sesar Palu Koro ini. Sesar Palu Koro memanjang sampai 60 kilometer dari utara ke selatan melintasi Kota Palu dan masuk ke teluk Palu bersisian dengan Kota Donggala. Sesar Palu Koro ini dilaporkan para ahli geologi bergerak 40 milimeter per tahun ke arah utara dan termasuk yang tercepat bila dibandingkan sesar Semangko Sumatra yang bergerak 15 milimeter ke Tenggara.
Tanah yang terdapat di daerah Palu berasal dari batuan Kuarter aluvium yang masih tergolong muda, yang disebut tanah aluvial. Tanah lapisan atas (1-7 m) terutama bertekstur pasir, lempung di lapisan tengah, dan liat di lapisan bawah. Peta muka air tanah menunjukkan air tanah yang dangkal (< 12 m) di daerah tersebut. Dari kesaksian masyarakat, Perumahan Bolaroa sebelumnya adalah daerah rawa, kemudian diurug dan ditimbun untuk dijadikan perkampungan baru. Semua hasil kajian tahun 2012 tersebut menunjukkan daerah Palu rentan likuifikasi.
Pada bagian akhir laporan tersebut, ada peta zonasi bahaya likuifaksi dengan zonasi bahaya mulai dari potensi sangat rendah dan rendah, potensi tinggi dan sangat tinggi. Desa Petobo dan perumahan Balaroa ternyata berada di perbatasan zona sangat tinggi.
Risna menyarankan fondasi bangunan sebaiknya tidak diletakkan pada lapisan pasir, sehingga lebih aman terhadap liquifaksi. Dan penataan ruang terhadap kawasan pemukiman, industri dan bangunan vital lainnya sebaiknya ditempatkan pada area yang memiliki indeks potensi likuifaksi (LPI) < 5.
Seperti umumnya terjadi di Indonesia, dan banyak negara lain, temuan para ahli banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh yang berkepentingan. Pengalaman bencana Palu harus menjadi pembelajaran agar hasil penelitian tidak hanya disimpan rapi di rak buku perpustakaan setelah penelitian selesai. Diseminasi hasil penelitian yang penting seperti potensi likuifaksi suatu daerah harus sampai kepada pembuat kebijakan.
Musibah ini bisa dihindari jika kita waspada dan mempertimbangkan keadaan, kondisi dan perilaku alami dari lapisan litosfir dari bumi ini ketika membangun infrastruktur diatasnya. Dalam pembangunan pemukiman baru pascabencana, para pembuat kebijakan dan perencana kota perlu memperhatikan peta zonasi bahaya likuifaksi agar bencana ini tidak terulang lagi.
Artikel ini sudah ditayangkan oleh The Conversation.