Suara.com - Gelombang tsunami yang menerpa Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), rupanya membuat para ilmuwan terkejut. Mereka tak menyangka gempa berkekuatan 7,7 skala Richter itu bisa memicu tsunami sedemikian dasyat.
"Kami memang menduga gempa itu mungkin memicu tsunami, tetapi tak sebesar itu," kata Jason Patton, pakar geofisika dari Humboldt State University, California, Amerika Serikat seperti diwartakan New York Times.
Tsunami besar biasanya dipicu oleh apa yang disebut gempa megathrust. Gempa seperti ini terjadi ketika lempeng Bumi patah dan sebagian besar dari patahan itu bergerak secara vertikal.
Gerakan vertikal ini biasanya memicu gelombang-gelombang besar yang bisa melesat dalam kecepatan sangat tinggi. Inilah yang terjadi di Aceh pada 2004 silam. Dalam tsunami Aceh, tinggi gelombang bahkan mencapai 30 meter.
Adapun yang terjadi di Palu akhir pekan lalu bukanlah patahan vertikal. Lempeng yang patah bergerak horizontal dan tak biasanya memicu tsunami.
Tetapi kata Patton, dalam kondisi tertentu patahan seperti ini masih bisa menyebabkan tsunami. Zona patahan di Sulawesi Tengah, yang panjangnya diduga 112 kilometer, bisa saja melewati dasar laut yang miring. Sehingga ketika terjadi patahan, air di depannya terdorong dengan kekuatan besar.
Kemungkinan lain adalah tsunami terjadi secara tidak langsung. Guncangan gempa mungkin telah menyebabkan longsor bawah laut dan selanjutnya memicu gelombang tsunami.
Kekuatan tsunami itu juga bisa dipengaruhi oleh letak Palu yang berada di ujung teluk yang sempit. Garis pantai dan kontur dasar laut di Teluk Palu membuat energi gelombang terfokus ke Ibu Kota Sulawesi Tengah itu, membuat ombak semakin tinggi saat mendekati daratan.
Patton mengatakan bahwa kombinasi dari faktor-faktor ini bisa saja menjadi pemicu tsunami kemarin. Ia menambahkan bahwa untuk memastikan penyebab tsunami di Palu dan Donggala diperlukan studi terhadap dasar laut di sekitar dua wilayah tersebut.
"Kita tak akan tahu sampai studi itu dilakukan," kata Patton.