Suara.com - Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) berharap pemerintah segera mengambil keputusan terkait kewajiban penempatan pusat data atau data center agar memberikan kepastian kepada para pelaku bisnis digital di Indonesia.
Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (3/9/2018), menjelaskan peraturan mengenai pusat data yang belum jelas membuat pelaku usaha bingung.
Dia mengungkapkan semula pemerintah meminta lokasi pusat data harus berada di Indonesia, namun belakangan pemerintah menyatakan pelaku digital tak perlu membangun data center di Indonesia, tetapi cukup membuka access point.
"Ini yang benar yang mana? Sanksinya apa, belum jelas. Masih abu-abu. Kalau abu-abu, percuma juga kita bikin data center," kata Untung sepertin dilansir Antara.
Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Di antara poin yang menjadi perdebatan adalah kewajiban menyimpan pusat data di Indonesia. Semula, revisi peraturan tersebut dijadwalkan terbit Oktober 2017, namun terus mundur. Kabarnya saat ini revisi PP 82/2012 memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Kelembagaan Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Yudhistira Nugraha sebelumnya menjelaskan hal yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut adalah kewajiban penempatan pusat data dan data recovery center di wilayah Indonesia.
"Aturannya sedang direvisi menjadi kewajiban penempatan data elektronik strategis pada data center dan data recovery center di wilayah Indonesia," ujar dia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mengutip rancangan aturan terakhir, Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) dalam tanggapan resmi yang dirilis 7 Mei 2018 menyebutkan data elektronik terbagi menjadi tiga kategori. Rinciannya, data elektronik strategis, data elektronik berisiko tinggi, dan data elektronik berisiko rendah.
Menurut Yudhistira, dalam menentukan sebuah data elektronik bersifat strategis atau tidak dan harus ditempatkan di Indonesia bisa dilihat dari beberapa hal.
Pertama, data tersebut bisa menimbulkan ancaman terhadap terganggunya penyelenggaraan negara. Kemudian dapat menimbulkan ancaman terhadap perekonomian nasional dan proses penegakan hukum.
Data elektronik strategis wajib ditempatkan di Indonesia, menggunakan jaringan sistem elektronik Indonesia dan tidak boleh dipertukarkan ke luar wilayah Indonesia.
Adapun di luar kriteria di atas, data elektronik bisa dimasukkan ke data elektronik berisiko tinggi atau rendah dan dapat ditempatkan di luar wilayah Indonesia.
Untung menegaskan pemerintah beserta pelaku usaha perlu duduk bersama untuk mencari solusi terbaik mengenai kewajiban penempatan data center. Pemerintah juga sebaiknya mengurangi wacana yang membingungkan pelaku bisnis.
"Kalau bisa, jangan baru wacana sudah disampaikan. Ini membuat pelaku bisnis penuh ketidakpastian. Lebih baik daripada berwacana, kita duduk bersama, berdiskusi, dan membuat keputusan," tegas Untung.
Dia juga berharap lembaga-lembaga lain tidak menerbitkan aturan teknis sebelum revisi PP 82 tersebut selesai. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik aturan, apalagi Indonesia masih memiliki berbagai keterbatasan, terutama menyangkut kesiapan infrastruktur pendukung.
Ekspansi pengusaha lokal yang bergerak dalam bisnis data center juga sangat lambat. Itulah sebabnya, sebagian besar e-commerce terutama perusahaan global masih menempatkan pusat data di luar Indonesia.
Untung menjelaskan sejatinya aturan kewajiban membangun data center membuka peluang bisnis di bidang server cloud, namun belum banyak perusahaan yang masuk.
"Server cloud itu bisnis besar tetapi dari sisi kualitas perusahan lokal masih jauh ketinggalan dari perusahaan global," jelasnya.