Suara.com - Skandal pencurian data pengguna Facebook membuat masyarakat dunia terperangah. Disinyalir, data 50 juta pengguna Facebook digunakan untuk kepentingan kampanye saat Pemilu Presiden Amerika Serikat pada 2016.
Adalah Cambridge Analytica, perusahaan analisis data yang diduga menggunakan data 50 juta pengguna. Mereka diketahui menggunakan data pengguna yang berasal dari aplikasi pihak ketiga yang dikembangkan oleh peneliti bernama Aleksandr Kogan
Menurut pengamat keamanan siber, Pratama Persadha, praktik pemberian data ke pihak ketiga memang kerap dilakukan Facebook. Ia menjelaskan, Facebook memiliki API (Application Programme Interface) yang dinamakan "Friends Permission".
Dengan API tersebut, pihak ketiga tidak hanya mendapatkan data dari pemilik akun tertarget, namun juga teman-temannya di Facebook.
Baca Juga: Data Facebook Bocor, Mark Zuckerberg Sempat Ngilang?
"Facebook sendiri membuka data pengguna ke pihak ketiga memang sangat mudah. Bahkan, sampai pada tahun 2014, Facebook masih mempunyai program Friend Permission untuk pihak ketiga, sehingga cakupan data yang diambil menjadi sangat banyak," katanya kepada Suara.com.
Dengan adanya kasus kebocaran data tersebut, lanjut Pratama, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintahan di seluruh dunia untuk melakukan evaluasi terhadap Facebook.
"Menurut saya, kita perlu panggil mereka agar kejadian ini tidak terjadi di Indonesia. Apalagi di tahun 2018 dan 2019 ada perhelatan akbar di Indonesia," tegas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Sementara itu, CEO Facebook Mark Zuckerberg berjanji akan lebih membatasi akses pengembang ke data pengguna. Ia juga akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap semua aplikasi
Baca Juga: Bocornya Data Facebook Bisa Terjadi di Indonesia
"Kami juga akan menghadirkan tool untuk membuang segala aplikasi yang menggunakan data Anda," jelasnya.