Kromosom Y Terlalu Lemah, Akankah Lelaki Punah dari Muka Bumi?

Liberty Jemadu Suara.Com
Sabtu, 17 Februari 2018 | 07:30 WIB
Kromosom Y Terlalu Lemah, Akankah Lelaki Punah dari Muka Bumi?
Ilustrasi seorang lelaki tua duduk sambil memegang tongkat. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kromosom Y bisa jadi adalah simbol maskulinitas, tapi semakin tampak jelas bahwa kromosom ini tidak kuat dan tahan lama. Walau membawa gen pengatur embrio (master switch), SRY, yang menentukan apakah suatu embrio akan berkembang sebagai jantan (XY) atau betina (XX), kromosom ini hanya mengandung sangat sedikit gen lain dan inilah satu-satunya kromosom yang tidak mutlak harus ada bagi kehidupan. Yang jelas, perempuan terbukti baik-baik saja tanpa kromosom ini.

Lebih dari itu, kromosom Y mengalami degenerasi alias kemerosotan dengan cepat, sehingga perempuan memiliki dua kromosom X yang sepenuhnya normal, sementara laki-laki punya satu kromosom X dan satu kromosom Y yang mengerut. Jika laju degenerasi yang sama berlanjut, kromosom Y hanya punya sisa waktu 4,6 juta tahun sebelum lenyap sama sekali. Tampaknya itu waktu yang sangat lama, tapi sebetulnya tidak kalau Anda renungkan bahwa kehidupan sudah ada di Bumi selama 3,5 miliar tahun.

Tidak selamanya kromosom Y seperti itu. Jika kita memutar mundur jam 166 juta tahun hingga mamalia paling awal, ceritanya sama sekali berbeda. Kromosom “proto-Y” awal pada mulanya sama ukurannya dengan kromosom X dan memuat semua gen yang sama. Hanya, kromosom Y punya sebuah kekurangan fundamental. Tidak seperti semua kromosom lain, yang dua salinannya kita punyai dalam masing-masing sel kita, kromosom Y hanya pernah muncul sebagai satu salinan, diwariskan dari ayah ke anak laki-lakinya.

Ini artinya gen-gen pada kromosom Y tidak mampu menjalani rekombinasi genetis. Rekombinasi genetis adalah “pengocokan” gen yang terjadi dalam tiap generasi dan membantu melenyapkan mutasi-mutasi gen yang merugikan. Tidak mendapat manfaat rekombinasi, gen kromosomal Y mengalami degenerasi seiring waktu dan akhirnya hilang dari genom.

Kendati demikian, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kromosom Y mengembangkan beberapa mekanisme sangat meyakinkan untuk “menghentikan”, melambatkan laju hilangnya gen sampai berhenti.

Misalnya, sebuah studi mutakhir Denmark, diterbitkan dalam PLoS Genetics, mengurutkan porsi kromosom Y dari 62 laki-laki berbeda dan mendapati bahwa kromosom ini mudah menerima pengaturan ulang struktural berskala besar yang memungkinkan terjadinya “amplifikasi gen "— pemerolehan banyak salinan gen yang meningkatkan fungsi sperma sehat dan mengurangi hilangnya gen.

Studi ini juga menunjukkan bahwa kromosom Y mengembangkan struktur-struktur tidak lazim yang disebut "palindrom” (urutan DNA yang terbaca sama dari depan dan dari belakang —seperti kata “kayak”), yang melindunginya dari degradasi lebih jauh. Mereka merekam laju “kejadian-kejadian konversi gen” dalam urutan-urutan palindrom pada kromosom Y—pada dasarnya ini adalah proses “copy-paste” yang memungkinkan diperbaikinya gen menggunakan salinan cadangan yang tidak rusak sebagai sebuah pola dasar.

Melihat ke spesies-spesies lain (kromosom Y ada dalam mamalia dan beberapa spesies lain), semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa amplifikasi gen kromosom Y adalah sebuah prinsip umum yang berlaku untuk semua. Gen-gen yang mengalami amplifikasi itu memainkan peran sangat penting dalam produksi sperma dan (setidak-tidaknya pada hewan pengerat) dalam mengatur rasio jenis kelamin keturunan. Menulis dalam Molecular Biology and Evolution belum lama ini, para peneliti memberikan bukti bahwa peningkatan jumlah salinan gen dalam tikus tersebut adalah hasil seleksi alam.

Mengenai persoalan apakah kromosom Y akan benar-benar hilang, komunitas ilmiah, seperti Inggris saat ini, terbelah menjadi kelompok “leavers” (lenyap) dan “remainers” (tetap). Kelompok yang terakhir ini berpendapat bahwa mekanisme pertahanannya melakukan pekerjaan yang luar biasa dan menyelamatkan kromosom Y. Tapi kelompok leavers mengatakan yang dilakukan mekanisme itu hanyalah memungkinkan kromosom Y bertahan menggantung, sebelum akhirnya jatuh ke jurang. Dan perdebatan pun berlanjut.

Pendukung terkemuka argumen lenyap, Jenny Graves dari Universitas La Trobe di Australia, menyatakan bahwa, jika Anda menggunakan sebuah perspektif jangka panjang, kromosom Y pasti musnah—meskipun kadang-kadang bertahan lebih lama dari perkiraan. Dalam sebuah makalah 2016, dia menunjukkan bahwa tikus berduri Jepang dan tikus mole voles sudah sepenuhnya kehilangan kromosom Y mereka—dan bahwa proses hilang atau diciptakannya gen dalam kromosom Y pasti menimbulkan persoalan fertilitas. Hal ini kemudian bisa mendorong pembentukan spesies-spesies yang sama sekali baru.

Kepunahan laki-laki?

Seperti yang kami kemukakan dalam sebuah bab pada e-book baru, sekalipun jika kromosom Y pada manusia memang lenyap, tidak mesti berarti bahwa laki-laki sedang berada dalam proses menuju kepunahan. Bahkan pada spesies-spesies yang benar-benar kehilangan kromosom Y sepenuhnya, jantan dan betina masih sama-sama diperlukan untuk reproduksi.

Dalam kasus-kasus tersebut, gen “master switch” SRY yang menentukan sifat jantan genetis sudah pindah ke kromosom berbeda. Artinya, spesies-spesies itu memproduksi jantan tanpa perlu kromosom Y. Bagaimana pun juga, kromosom penentu jenis kelamin baru itu—yang dipindahkan SRY—kemudian pasti mulai mengalami proses degenerasi lagi karena tidak adanya rekombinasi yang sama yang memusnahkan kromosom Y mereka sebelumnya.

Namun, yang menarik sehubungan dengan manusia adalah meski kromosom Y diperlukan bagi reproduksi manusia normal, banyak dari gen yang dibawanya tidak diperlukan jika Anda menggunakan teknik reproduksi dengan bantuan. Ini berarti bahwa rekayasa genetis tak lama lagi bisa menggantikan fungsi gen kromosom Y, memungkinkan pasangan sejenis perempuan atau laki-laki tidak subur untuk hamil. Kendati demikian, jika semua orang mungkin hamil dengan cara ini, tampaknya sangat tidak mungkin manusia yang subur akan berhenti bereproduksi secara alami.

Walaupun ini adalah wilayah penelitian genetis yang menarik dan diperdebatkan dengan sengit, tak banyak yang perlu dicemaskan. Kita bahkan tidak tahu apakah kromosom Y akan lenyap sama sekali. Dan, seperti yang sudah kami tunjukkan, kalau memang lenyap, kemungkinan besar kita akan terus memerlukan laki-laki agar reproduksi normal terus berjalan.

Bahkan, prospek sistem tipe “hewan peternakan” di mana segelintir laki-laki yang “beruntung” terpilih untuk menjadi ayah bagi mayoritas anak kita jelas tidak terlihat di cakrawala. Yang jelas, akan ada keprihatinan yang jauh lebih mendesak dalam 4,6 juta tahun ke depan.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh The Conversation.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI