Suara.com - Facebook pada pekan lalu mengakui bahwa media sosial memiliki potensi merusak demokrasi. Pengakuan itu diutarakan setelah Facebook dan Twitter terbukti menjadi alat Rusia untuk mengadu domba masyarakat dalam pemilihan umum di Amerika Serikat dan referendum di Inggris pada 2016 silam.
Salah satu bukti kesuksesan Rusia dalam memanfaatkan Facebook untuk merusak demokrasi terlihat di Houston, Texas, pada 21 Mei 2016 lalu. Ketika itu ada dua kelompok yang berseberangan melakukan demonstrasi di waktu dan tempat yang sama.
Dua demonstrasi itu bermula dari sebuah undangan di Facebook dari sebuah kelompok bernama "Heart of Texas". Kelompok itu mengajak orang-orang untuk berdemonstrasi untuk memperjuangkan kampanye "Stop Islamisasi Texas".
Undangan serupa juga datang dari kelompok lain bernama "United Muslims of America". Isinya mengajak pendukungnya untuk berdemonstrasi dengan slogan "Selamatkan Wawasan Islam".
Belakangan diketahui bahwa dua kelompok itu diciptakan oleh agen-agen Rusia di Facebook. Tujuannya adalah untuk memicu perpecahan dan bentrokan di tengah masyarakat.
Dalam sebuah artikel di blog resmi Facebook pada 22 Januari lalu, kepala bidang hubungan masyarakat sipil Facebook, Samidh Chakrabarti, mengakui kelengahan pihaknya untuk mengantisipasi permainan agen-agen Rusia tersebut.
Chakrabarti kemudian memperingatkan bahwa ada lima cara media sosial, termasuk Facebook, bisa merusak demokrasi. Ia mengungkap hal ini agar para pengguna bisa lebih waspada dalam menggunakan media sosial.
1. Campur tangan asing
Chakrabarti menulis bahwa pada 2016, di tengah panasnya kondisi politik AS jelang pemilihan presiden, agen-agen Rusia membuat laman-laman Facebook palsu untuk memengaruhi sentimen dan mengadu domba publik.
"Mereka menggunakan media sosial sebagai senjata informasi," tulis Chakrabarti.
Untuk mencegah hal itu terulang lagi, Facebook kini membuat politik lebih transparan di media sosialnya. Semua pengguna kini bisa memeriksa laman atau akun dari mereka yang beriklan politik di Facebook, agar maksud dan tujuan mereka bisa diketahui.
2. Hoax
Kabar bohong atau hoax kini jadi momok di media sosial. Facebook mengakui bahwa Hoax bisa memiliki konsekuensi yang fatal.
Seorang politikus perempuan Muslim di Australia pernah menjadi korban hoax pada 2017 lalu. Anne Aly, perempuan Muslim pertama yang menjadi anggota parlemen Australia itu disebut menolak untuk meletakan karangan bunga di monumen perjuangan.
Hoax ini menyebabkan banyak orang menulis komentar negatif di akun Facebook sang anggota parlemen.
Facebook sendiri berusaha mengatasi penyebaran hoax dengan mempermudah pengguna untuk melaporkan kabar bohong dan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyisir kabar bohong di platformnya.
3. Ruang gema
Salah satu risiko yang paling berbahaya dari media sosial adalah ruang-ruang gema atau echo chambers. Ruang gema diakui Facebook sebagai salah satu faktor yang membuat publik terpecah-belah.
Di media sosial seperti Facebook, orang akan diberikan informasi yang sesuai dengan pandangannya yang sudah dipercayainya saja. Ia akan diarahkan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang memiliki pandangannya yang sama dengannya.
Pengguna seperti berada di dalam sebuah ruangan tertutup, yang di dalamnya ia dihantam bertubi-tubi oleh informasi-informasi yang hanya akan memperkuat keyakinannya - tanpa memberinya kesempatan untuk menengok atau mendengar informasi lain yang lebih beragam.
Alhasil pengguna akan sukar menerima pandangan lain dan bahkan menolak untuk menerima pandangan yang berseberangan, tak peduli itu benar atau salah. Fenomena ini dalam ilmu sosial disebut sebagai bias konfirmasi.
Untuk mengatasi bahaya ini, Facebook telah menguji sebuah fitur bernama "Related Articles" yang berfungsi untuk menawarkan informasi yang lebih beragam kepada pengguna.
4. Pelecehan politik
Meski media sosial sering disebut sebagai ruang publik baru yang lebih demokratis, tak jarang ia menjadi tempat di mana suara-suara kritis dibungkam atau diserang.
Menurut Facebook di beberapa negara, warga yang mengkritik lewat media sosial justru ditangkap oleh polisi. Ini adalah salah satu contoh bagaimana Facebook justru disalahgunakan oleh negara.
Contoh lain dari pelecehan politis dalam media sosial adalah ujaran kebencian. Media sosial kini banyak digunakan untuk menyerang orang-orang yang berbeda pilihan politik dengan ujaran kebencian dan bahkan ancaman.
5. Ketidaksetaraan
Meski media sosial justru mendorong kesetaraan antara berbagai kelompok di ruang publik, tetapi perempuan justru masih kurang melibatkan diri dalam dialog politik di Facebook.
Hal ini berbahaya menurut Facebook, karena para politikus akhirnya tak akan bisa menangkap aspirasi publik secara lengkap dan seimbang.