Pemerintah Harus Tegas Pertahankan Kedaulatan Digital

Senin, 21 Agustus 2017 | 17:37 WIB
Pemerintah Harus Tegas Pertahankan Kedaulatan Digital
Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum Henri Subiakto. [Suara.com/Dwi Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saat ini pemerintah Indonesia sudah memiliki kewenangan untuk menutup dan memblokir situs-situs atau aplikasi percakapan yang dianggap melanggar Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Salah satu contohnya, pemerintah telah melakukan pemblokiran pada aplikasi Telegram karena dinilai mengandung muatan radikalisme dan terorisme.

"Undang-undang ITE yang memerintahkan bahwa pemerintah punya kewenangan menutup akses pada reformasi yang melanggar UUD. Pornografi, anti pancasila, kemudian ingin membentuk negar di luar NKRI," ujar Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum Henri Subiakto di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017).

Dengan adanya UU tersebut, Kemenkominfo, kata Henri, bisa berperan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman radikalisme yang bermain lewat jaringan internet.

Baca Juga: Industri Berbasis Digital Mampu Tingkatkan Taraf Hidup Masyarakat

"Karena kita tahu banyak persoalan muncul dari dunia maya. Banyak problema anti pancasila, atau anti kesatuan itu muncul dimulai dari dunia maya. Dengan regulasi ini, justru mampu mengurngi resiko-resiko," kata dia.

Menurut Henri, revisi UU ITE saat ini lebih demokratis. Sehingga pemerintah dan aparat bisa fokus menindak oknum yang melanggar hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 ayat (2a), (2b) dan (6), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

"Makanya kemarin telegram ditutup. Untuk apa? Kita memiliki kedulatan digital tetapi Telegram 6 kali diajak konunikasi, kita kirim email nggak di balas, akhirnya kita tutup. Walaupun yang ditutup webnya saja," kata Henri.

"Karena web dipakai untuk mengirimkan konten bagimana membuat bom, bagimana meneyerang polisi, sebuah konten yang bahaya sekali," lanjut Henri.

Baca Juga: Bank DBS Ajak Kaum Muda Beropini Tentang Ekonomi Digital

Seteah Kementerian yang dipimpin oleh Rudiantara menutup telegram, pendiri sekaligus CEO telegram Pavel Durov akhirnya melakukan pertemuan dan berdialog dengan pihak kominfo. Pavel, kata Henri, berkomitmen dan mau mematuhi ketentuan UU yang berlaku di Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI