Suara.com - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui, memunyai alasan kuat untuk memblokir layanan pesan singkat berbasis aplikasi telepon seluler, “Telegram”.
Rudi menegaskan, alasan utamanya adalah pihaknya memunyai bukti Telegram disalahgunakan untuk menyebar ajaran kekerasan yang mengarah pada aksi terorisme.
"Kami punya bukti yang kuat, ada lebih dari 500 halaman, mulai dari ajaran radikal, cara membuat bom, ajakan membenci aparat kepolisian, banyak!" kata Rudiantara di Pesawat Kepresiden Boeing 737-400 TNI AU kepada Antara, Sabtu (15/7/2017).
Menkominfo menjelaskan, pemblokiran Telegram telah dikonsultasikan dan atas persetujuan tiga institusi, yakni Kemkominfo, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Baca Juga: 'Ustazah' Ella di Sumedang Ajarkan Salat Hadap Matahari
"Jadi kita tidak asal 'take down', BIN dan BNPT juga menyetujui situs ini diblokir," tukasnya.
Rudiantara menambahkan, dibandingkan penyedia fasilitas pesan instan dan media sosial lainnya, Telegram dianggap tidak memiliki prosedur pengaduan yang efektif.
Karenanya, persoalan itu menyulitkan komunikasi apabila Kemenkominfo mendapatkan konten pesan yang berbahaya.
"Lain, misalnya, Twitter punya kantor di Jakarta, Facebook setidaknya ada di Singapura, dan semuanya bisa kita hubungi jika ada konten yang bermasalah," terangnya.
Oleh karena itu, Menkominfo juga telah meminta Telegram untuk membuat standar operasional prosedur (SOP) penanganan konten-konten radikalisme.
Baca Juga: Militer Korut: Melawan Kami, Sejarah Penjajahan AS Akan Berakhir
"Kalau mereka sudah buat SOP-nya bisa kita 'review' untuk membatalkan pemblokiran," janjinya.
Kemkominfo pada Jumat (14/7) telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram yang semula dapat diakses melalui PC.