Seorang mahasiswa dari perguruan ternama di New York, Amerika Serikat, mengungkap rahasia pabrik pembuatan ponsel keluaran Apple, iPhone. Setelah magang di Pegatron, Shanghai, Cina, salah satu perusahaan yang ditunjuk sebagai perakit iPhone, mahasiswa New York University (NYU) tersebut, Dejian Zeng, menceritakan seperti apa rasanya kerja di pabrik milik Taiwan tersebut.
Seperti dilansir dari News.com.au, Dejian bekerja enam hari dalam seminggu di pabrik perakitan tersebut. Ia mendapat bagian memasang baut cover belakang iPhone.
Selama bekerja, atau lebih tepatnya ‘menyamar’ sebagai karyawan, Dejian mencaritahu pula bagaimana perasaan karyawan lain dengan pekerjaan tersebut.
“Mereka tidak senang (dengan pekerjaan ini) tapi mereka juga tidak bisa apa-apa,” kata Dejian. Sebagian besar karyawan datang dari kawasan pedesaan dan karena mereka merasa kurang berpendidikan, mereka nurut-nurut saja dengan tugas dan jam kerja, serta gaji yang diberikan.
“Mereka sadar bahwa pekerjaan itu akan amat melelahkan, amat membosankan, dan dalam waktu yang amat panjang,” sambungnya.
Setiap hari, para karyawan, termasuk Dejian, berada dalam pabrik selama 12 jam, namun hanya digaji 10,5 jam. Dejian sendiri memasang baut rata-rata sebanyak 1.800 butir ke 1.800 iPhone. Pada hari Sabtu, mereka bekerja 8 jam. Minggu hanyalah satu-satunya hari libur mereka.
Tiap bulan, mereka menerima gaji bersih sebesar 3.100 Yuan (atau setara Rp6 juta).
Kata Dejian, pekerjaan di bagian perakitan diberikan secara acak. Pekerjaan yang tidak terlalu rumit biasanya diberikan kepada karyawan perempuan.
Penyamaran ini merupakan kerjasama antara NYU dan LSM Cina bernama China Labor Watch. Secara periodik, mereka mengirim karyawan yang menyamar untuk menyelidiki kondisi kerja dalam pabrik.
Mudah sekali mendapatkan kerja di pabrik tersebut. Selain interview, calon karyawan diminta melafalkan huruf alfabet.
“Ada proses interview singkat di mana Anda menunjukkan tangan Anda dan melafalkan alfabet Inggris, sangat mudah sekali,” kata Dejian.
Kebanyakan keryawan tinggal di mess dengan kamar berisi 8 tempat tidur yang berada di area pabrik. Mereka yang ingin tinggal di sini, diwajibkan membayar 160 Yuan (Rp300 ribu) per bulan, dipotong dari gaji mereka. Mess ini menyediakan fasilitas gym serta konseling dan terapi bagi karyawan.
Karyawan tidak diperbolehkan membawa peralatan elektronik apapun ke dalam ruang produksi. Namun, Dejian mengambil foto dari lokasi di sekitar pabrik seperti mess.
Pabrik ini dipilih lantaran berdasarkan China Labor Watch, pabrik ini menaikan gaji pokok untuk memenuhi aturan upah minimum. Namun, di waktu yang sama, mereka memotong honor dan tunjangan. Dejian mengira bakal terjadi protes, namun selama ia di sana, tidak ada aksi sama sekali.
Situasi di jam kerja
Biasanya, para karyawan mengobrol satu sama lain. Tak jarang pula menyanyikan lagu. Namun, kerap pula manajer meneriaki mereka untuk meningkatkan kecepatan kerja.
“Para manajer bersikap buruk terhadap para karyawan dan meneriaki mereka jika tak cukup cepat. Suara teriakan biasa terdengar, kami mendengarnya setiap hari,” kenang Dejian.
Dejian menceritakan insiden di suatu hari ketika seorang manajer menstop mesin perakitan dan mengumpulkan mereka hanya untuk meneriaki satu keryawan yang bekerja lambat.
“Suatu hari tiba-tiba seorang manajer marah dengan meledak-ledak,” kenang Dejian.
Pegatron pernah disorot media, yakni oleh BBC pada tahun 2014 dan Bloomberg pada tahun 2016. Pabrik itu dilaporkan atas dugaan kasus penambahan jam kerja secara paksa dan kondisi kerja yang sulit.
Apple sendiri menegaskan pihaknya menempatkan staf di pabrik yang jadi rekanannya untuk memantau pekerjaan perakitan. Dejian juga membenarkan bahwa staf Apple datang dua atau tiga kali melakukan pemantauan.
Namun, ketika para manajer menyadari kedatangan mereka, mereka akan bersikap baik. Mereka juga menyuruh para karyawan untuk bekerja rapi dan kerja dengan tenang.
“Dan lalu mereka (para staf Apple) akan berlalu saja. Ya hanya seperti itu,” ujar Dejian. (News.com.au)