“Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat,”ujarnya.
Salah satu pendapat menarik datang dari pengamat telekomunikasi, Bambang P. Adiwiyoto yang menyatakan sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (Long Run Incremental Cost).
“Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien,” ungkapnya.
Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien.
Baca Juga: Kocak! Niat Balapan Liar, Pemuda Malah Ditabrak Pick Up
Bambang P. Adiwiyoto juga menyatakan bahwa sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah, tetapi menggunakan batas atas. Penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat. Artinya, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi.
Sebagimana diketahui, salah satu persoalan yang mencuat dalam industri telekomunikasi adalah kebijakan interkoneksi. Kementerian Kominfo mendorong operator untuk melakukan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi dengan menurunkan tarif interkoneksi.
Penurunan tarif interkoneksi sebesar 26 persen dan diberlakukan untuk 18 skenario panggilan layanan seluler. Tapi, kebijakan itu tak serta merta disambut oleh seluruh operator. Operator berbeda pendapat, ada yang pro, ada pula yang kontra.
Hingga akhir tahun 2016, kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini.