Suara.com - Suhu politik menjelang pemilihan kepala daerah, khususnya Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari mendatang, memang sedang tinggi. Ini perparah dengan tak terkendalinya informasi palsu atau hoax di media sosial.
Hampir setiap hari kita melihat adu argumentasi di media sosial. Perang kata-kata di Twitter, yang beken dikenal sebagai twitwar, sudah jadi menu harian di Tanah Air.
Sayang seringkali yang terjadi bukan adu argumentasi, tetapi saling maki, ejek, dan risak yang tidak sehat. Ruang publik akhirnya berubah menjadi etalase untuk memamerkan kata-kata kotor dan kedangkalan pikiran.
Tetapi bisakah berdebat atau berbeda pendapat secara damai dan cerdas? Tentu saja bisa.
Michelle Kinder, seorang pakar kesehatan emosi dari Momentous Institute di Dallas, Amerika Serikat punya tiga tips agar perdebatan dan perbedaan pendapat bisa dilakukan dengan damai dan sopan.
Berikut tips dari Kinder, seperti diulas Time:
1. Waspadai "amygdala hijack"
Yang berlebih-lebihan itu tidak baik, termasuk reaksi yang lebay ketika berdebat. Tetapi dengan memahami fenomena neurobiologi di balik reaksi yang berlebihan, kita diharapkan untuk lebih bisa mengendalikan diri.
Ketika perbedaan pendapat tak bisa dijembatani lagi, amygdala - bagian otak yang memproses emosi - bisa membajak pre-frontak cortex, area otak yang bertanggung jawab atas proses berpikir rasional.
Jika ini sudah terjadi, maka kita akan sukar melihat atau membedah satu masalah dengan jernih.
Tetapi kita juga bisa melatih otak untuk memberikan peringatan saat ini terjadi. Misalnya saat berdebat, perhatikan tanda-tanda pada tubuh, seperti kecepatan detak jantung. Jika sudah terlalu cepat, itu tandanya emosi kita sudah lebih dominan.
Karenanya berusahalah untuk kembali tenang agar bisa berpikir lebih jernih. Dengan ini kita mungkin tak segera bisa memenangkan debat atau menyelesaikan masalah, tetapi setidaknya bisa mengendalikan kata-kata agar lebih sopan.
2. Hadapi perbedaan dengan rasa ingin tahu yang tulus
Ketika menghadapi orang baru, otak kita akan memutuskan apakah mereka "orang lain" atau bagian dari kelompok "kita" hanya dalam sepersekian detik. Penilaian seperti ini bisa mengurangi kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain dengan pikiran terbuka.
Biasakan untuk mendengarkan pendapat orang lain tanpa lebih dulu menghakimi atau memberikan label tertentu. Kebiasaan ini akan mengubah cara kita menilai orang lain, menjadi lebih berwarna dan menyeluruh sebagai manusia.
Dengan cara ini kita akan lebih mudah menerima kesalahan atau kelemahan orang lain, termasuk kelemahan kita sendiri.
3. Tegas soal prinsip
Untuk menciptakan keluarga, komunitas, atau bangsa yang menerima serta terbiasa dengan perbedaan pendapat, maka kita harus kokoh memegang prinsip-prinsip dasar kemanusiaan seperti menolak rasisme dan sikap menggeneralisasi.
Tegaslah saat menolak aksi intoleran, baik dalam ruang publik maupun dalam kehidupan pribadi. Lawanlah sindiran atau lelucon yang merendahkan kelompok, etnis, atau gender tertentu. Toleransi harus dibudayakan dalam masyarakat dan dalam keluarga.
Pelajari konteks dan sejarah masa lalu dengan melakukan riset yang memadai, sehingga kita dan anak-anak kita memahami latar belakang perbedaan dan sejarah kelam pertikaian antara kelompok di masa lalu.
Berbeda Pendapat Secara Damai? Ini 3 Tipsnya Menurut Sains
Liberty Jemadu Suara.Com
Selasa, 07 Februari 2017 | 20:35 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Fedi Nuril Terlibat Twitwar! Kuliti Cuitan Lawas Akun Kurawa Sindir Kaesang Empire
16 September 2024 | 19:35 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI