Suara.com - Para pemuda itu tidak berbeda seperti tahanan pada umumnya. Mereka mengenakan baju tahanan sama, hanya nomornya yang berbeda.
Mereka tidur di kasur sempit di dalam sel dengan kaki diborgol. Di sisi lain, ada sekelompok penjaga alias sipir yang memastikan keadaan penjara aman terkendali.
Demikian sekilas adegan dalam film ‘The Stanford Experiment Prison’ besutan sutradara Kyle Patrick Alvarez yang dirilis pada 2015. Sebanyak 24 mahasiswa laki-laki dipilih untuk secara acak menjalankan peran sebagai narapidana dan sipir di sebuah penjara ruang bawah tanah buatan.
Film yang memenangkan beberapa penghargaan ini, salah satunya di Sundance Film Festival, diangkat dari kisah nyata mengenai studi psikologi yang dilakukan psikolog ternama Prof Philip Zimbardo dari Universitas Stanford.
Zimbardo yang merupakan salah satu psikolog ternama ini adalah presiden American Psychological Association (APA).
Pekan ini ia hadir di Indonesia atas undangan Universitas Indonesia. Zimbardo menjadi keynote speaker pada ‘The 1st Asia-Pasific Research in Social Sciences and Humanities Universitas Indonesia Conference (APRiSH)’.
APRiSH adalah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh UI di Margo Hotel Depok, 7-9 November 2016. Selain Zimbardo, konferensi mengundang para ahli terkemuka lain dari dalam dan luar negeri.
The Stanford Prison Experiment (SPE) merupakan studi psikologi pada 1971 mengenai bagaimana respon manusia ketika dikurung dan efek perilakunya, baik pada sisi penjaga maupun tahanan di penjara.
Penelitian yang dipimpin Zimbardo ini membagi sekelompok pemuda menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berperan sebagai tahanan, kelompok lainnya sebagai penjaga.
Mereka ditempatkan di ruangan mirip penjara yang dibangun di bawah tanah gedung jurusan psikologi Stanford. Penjara dibangun tanpa jendela dan tidak disediakan jam sehingga subjek tidak mengetahui lamanya waktu berjalan.
Sebelum ditempatkan di penjara, para tahanan ini ditangkap di kediaman masing-masing. Mereka diborgol di hadapan umum oleh polisi. Ketika sampai di penjara, diperlakukan layaknya napi yang baru tiba.
Digeledah, ditelanjangi dan diberikan pakaian seragam penjara, lengkap dengan borgol di kaki. Dalam satu hari, keadaan menjadi tidak terkendali.
Para ‘penjaga’ mulai menggunakan aksi kekerasan pada narapidana. Penelitian ini seharusnya dilaksanakan selama dua minggu.
Tapi kebrutalan yang dilakukan para penjaga dan penderitaan yang dialami tahanan sudah sangat memprihatinkan. Pada hari keenam, penelitian ini dihentikan.
Percobaan yang dilakukan Zimbardo memang mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari rekan sesama psikolog. Zimbardo dinilai melanggar etika mengenai penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek.
Kritik terbesar datang dari psikolog yang kini menjadi pasangan hidup Zimbardo, yakni Christina Maslach dari Universitas California, Berkeley.
Bagaimana pun, penelitian ini telah memperlihatkan ilustrasi yang jelas bagaimana suatu keadaan bisa membentuk perilaku seseorang. Menurut Zimbardo, para penjaga bertingkah sedemikian brutal, karena mereka begitu menyelami peran sebagaimana dirinya yang berperan sebagai pengawas penjaga.
"Agresi para penjaga merupakan konsekuensi alami dari penggunaan seragam penjaga dan menegaskan kekuatan yang melekat pada peran tersebut," katanya seperti dikutip BBC.
Menurut Zimbardo, mahasiswa yang normal dan sehat dapat berubah perilaku sesuai peran yang mereka jalani. Baik itu sebagai penjaga yang sadis atau tahanan yang tertekan.
Percobaan ini menunjukkan bahwa orang-orang biasa yang sehat secara fisik dan psikologis, serta tidak pernah memiliki catatan kriminal, dapat melakukan kejahatan apabila dihadapkan pada keadaan yang memungkinkan.
Zimbardo menggunakan pendekatan yang sederhana dan kuat ini pada beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak berbeda. Seperti pelaku bom bunuh diri yang menabrakkan pesawat ke menara kembar WTC, New York, hingga orang-orang Amerika yang menyiksa tahanan di penjara Abu Ghraib, Irak.
Saking populernya, SPE telah diterjemahkan ke dalam beberapa versi budaya pop. ‘The Stanford Prison Experiment’ bukan satu-satunya film yang terinspirasi penelitian Zimbardo.
Lima tahun sebelumnya, percobaan ini menginspirasi film ‘The Experiment’ yang disutradarai Paul Scheuring dan dibintangi aktor peraih Oscar, Adrien Brody serta Forest Whitaker. ‘The Experiment’ sendiri merupakan remake ‘Das Experiment’ yang dibuat sutradara Oliver Hirschbiegel pada 2001.
Zimbardo telah mempublikasikan lebih dari 50 buku dan 400 artikel populer maupun profesional. Termasuk tulisan terakhirnya bertajuk, ’Man, Interrupted’.
Toh ia tetap identik dengan SPE. Meski penelitiannya yang kontroversial ini telah mengangkat nama Zimbardo di dunia internasional, ternyata ia tidak ingin diingat sebagai sosok yang kontroversial.
Zimbardo mengaku, eksperimen tersebut telah membuatnya dikenal di seluruh dunia. "Tapi saya ingin diingat bukan sebagai orang yang menciptakan perilaku jahat pada orang baik," kata Zimbardo.
Ia mengatakan ingin lebih dikenal untuk penelitian lain yang juga telah dilakukannya dan bagaimana penelitian itu membantu banyak orang.
Terlepas dari SPE, Zimbardo memiliki kepedulian tinggi pada kondisi sosial. Ia melakukan penelitian dan merumuskan pendekatan baru untuk membantu mengatasi berbagai persoalan kontemporer. Seperti bagaimana mengatasi masalah global mengenai anak-anak muda yang kecanduan video game dan pornografi.