Kebenaran Ditentukan Algoritma, Paham Radikal Viral di Medsos

Rabu, 12 Oktober 2016 | 15:19 WIB
Kebenaran Ditentukan Algoritma, Paham Radikal Viral di Medsos
Para pemuka agama hadir sebagai pembicara dalam konferensi pers Kompetisi Video Pendek bertajuk
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Paham radikal di indonesia saat ini masih disebarkan secara leluasa media sosial dan belum ada usaha kolektif untuk mengatasi hal ini. Padahal, generasi muda menjadi target utama penyebaran radikalisme.

Hal ini, menurut Irendra Radjawali, pengamat data digital yang juga peneliti pada Universitas Bonn, Jerman, harus diwaspadai karena di zaman digital ini kebenaran dicari lewat algoritma.

"Sumber kebenaran perlahan bergeser dari ketuhanan, keakuan, menjadi algoritma," kata Irendra dalam konferensi pers Kompetisi Video Pendek 'Karena Kita Indonesia' di Kantor Tempo, Jakarta, Rabu (12/10/2016).

"Seperti misalnya mencari jalur yang paling enak ke Senayan, kini menggunakan aplikasi atau mencari jenis obat yang sesuai dengan data on-line. Dan ini bisa berbahaya," imbuh dia.

Sebagai dampaknya, kata dia, subrealitas bisa loncat menjadi hiperealitas.

"Subrealitas adalah dunia maya, sedangkan hiperealitas adalah interpretasi fakta yang didasarkan atas gambar, teks, statistik, angka-angka, yang belum tentu realitas sebenarnya," ucap lulusan Universitas Bremen, Jerman itu.

Irendra meriset jejaring kata di Twitter yang berhubungan dengan radikalime. Ia mulai dari 300 kata kunci yang sering diperalat oleh para ekstremis dalam proses perekrutan seperti 'kafir', 'jihad', 'ISIS', 'khilafah', serta 'Syiria'.

"Saya menemukan, kata-kata yang berhubungan dengan 'jihad' malah kata-kata yang sangat personal seperti 'jalanku', 'berbuat', 'keluar'. Ada usaha personalisasi radikalisme," ujar Irendra.

Menurutnya, ada beberapa cara untuk menangkal radikalisme. Pertama ada pembentukan semacam kamus digital yang berisi kata-kata dan sintaks yang digunakan untuk mendeteksi penyebaran radikalisme di media sosial sejak dini. Data yang diakuisisi kemudian harus dianalisa dan diartikulasikan dengan sistem yang baik.

Kedua, butuh usaha kolektif dari berbagai pemangku kepentingan untuk menindaklanjutinya, baik secara online maupun offline.

"Karena mereka menyebarkan pahamnya di dunia media sosial, tapi perekrutannya di dunia nyata," jelas dia.

Ketiga, adanya analisis ruang dan waktu yang baik dari media sosial. Pasalnya, sering kali propaganda radikalisme di Twitter dilakukan oleh robot yang lebih dikenal dengan istilah bot.

"Karena kata-kata itu bisa saja terdeteksi di Medan, misalnya. Tapi apa benar ada di sana?" tutup Irendra.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI