Suara.com - "Jangan kebanyakan main game, nanti bodoh". Stigma ini masih begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya para orang tua yang memiliki anak yang hobi main game komputer atau konsol.
Selain bodoh, masih ada cap negatif lainnya bagi mereka yang banyak menghabiskan waktu dengan bermain video game. Salah satunya adalah jadi pribadi yang pemalas.
Tidak bisa dipungkiri, banyak generasi muda di tanah air saat ini yang memang marak bermain video game, entah itu dengan alasan sekadar melepas penat atau memang sudah jadi kecanduan.
Kondisi seperti itu mudah kita jumpai kala menyambangi warung internet (warnet) yang marak berkembang dalam beberapa tahun terakhir di tanah air, khususnya di kota-kota besar.
Dari warnet itu, kita bisa lihat betapa generasi muda, mulai dari pelajar tingkat SMP hingga perguruan tinggi, mendominasi tempat penyedia jasa internet tersebut.
Rata-rata kawula muda banyak yang bermain game online yang memang sedang tren di nusantara saat ini. Beberapa game permainan yang banyak diminati, diantaranya DOTA dan Counter Strike.
Tapi siapa sangka, jika memiliki bakat yang baik, permainan game online seperti ini bisa menjadi profesi yang menjanjikan di masa depan.
Hal itu sebagaimana diungkap Wakil Ketua Umum Asosiasi e-Sports Indonesia (IeSPA), William Tjahyadi. Menurutnya, game online sudah menjadi industri yang sangat pesat perkembangannya.
Dalam catatannya, selama satu dekade terakhir, industri game online telah menjelma menjadi profesi baru yang digandrungi masyarakat di dunia, khususnya di belahan bumi Eropa.
Bahkan, industri ini bukan hanya jadi sebuah permainan semata, tapi sudah mulai direncanakan untuk dipertandingkan di ajang pesta olahraga sejagat raya, Olimpiade.
"Itulah kenapa kami menyebut orang-orang yang bermain game online bukan player, tapi atlet. Karena memang sudah ada rencana untuk mempertandingkan game online di arena Olimpiade," ujar William.
"Saya yakin 50 tahun ke depan industri ini akan pesat kemajuannya," lanjut William saat ditemui dalam ajang Kejuaraan Dunia e-Sports ke -8 di dalam perhelatan TAFISA Games 2016 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
William menjelaskan, e-Sports atau olahraga elektronik bukan berarti meminta seorang anak untuk berhenti dari pendidikan dan fokus bermain game, sebagaimana yang jadi kekhawatiran banyak orang tua.
Sebaliknya, IeSPA ataupun Federasi e-Sports Internasional (IeSF) mendukung penuh setiap anak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Hanya saja, dalam hal ini, William ingin menggambarkan bahwa dalam olahraga elektronik juga terbentang masa depan yang luas dan menjanjikan.
"Kami sudah lakukan banyak workshop ke sekolah-sekolah tentang bagaimana cerahnya masa depan di ajang e-Sports ini," ujar William, yang juga ketua panitia pelaksana Kejuaraan Dunia e-Sports ke-8
"Kami jelaskan ke mereka bahwa para atlet e-Sports bisa mendapat gaji bulanan, mendapat sponsor, dan direkrut sebuah tim. Sistemnya hampir mirip dengan sepakbola. Jika gamer tidak terlalu memiliki bakat, mereka bisa jadi pelatih, komentator, atau pembuat game."
"Bahkan, setelah 10 tahun berkembang, hadiah total tertinggi yang disediakan di cabang ini melebihi apa yang didapat di olahraga seperti tenis. Total hadiah tertinggi yang disediakan ada yang mencapai 18 juta dolar AS," jelas William.
Di ajang TAFISA Games 2016 sendiri, kejuaraan e-Sports menjadi salah satu event yang paling banyak diserbu peserta asing. Tidak kurang 280 peserta dari 33 negara, termasuk Indonesia, mengikuti ajang yang digelar di ABC Mall, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.