Jejak Pengemplangan Pajak Google di Dunia

Liberty Jemadu Suara.Com
Rabu, 21 September 2016 | 07:16 WIB
Jejak Pengemplangan Pajak Google di Dunia
Ilustrasi mesin pencari Google (Shutterstock).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam dua pekan terakhir terus membidik Google Indonesia, yang diduga telah menghindar membayar pajak di Tanah Air sejak mulai beroperasi pada 2011.

Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, kepada Reuters mengatakan bahwa penyidik DJP pada Senin (19/9/2016) mendatangi kantor Google di Jakarta terkait dugaan pengemplangan pajak raksasa teknologi internet Amerika itu di Tanah Air.

Haniv mengatakan bahwa Google membayar kurang dari 0,1 persen dari total pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai pada 2015 lalu.

Jika terbukti bersalah menghindari pajak, Google akan diwajibkan membayar denda yang besarnya empat kali lipat dari tunggakan pajak yang nilainya bisa mencapai Rp5,5 triliun.

Jumlah itu hanya untuk 2015 saja dan bisa lebih besar jika pajak empat tahun sebelumnya juga dihitung. DJP sendiri akan memburu pajak Google yang beroperasi di Tanah Air sejak 2011.

"Argumentasi Google adalah mereka melakukan perencanaan pajak. Perencanaan pajak memang legal, tetapi perencanaan pajak agresif - sehingga negara tempat mereka mengeruk penghasilan tidak mendapatkan apa-apa - adalah ilegal," tegas Haniv.

Terkenal Licik

Google Indonesia, ketika dimintai komentar terkait pernyataan Haniv oleh Reuters, hanya mengulang kembali pernyataannya pekan lalu yang isinya akan bekerja sama dengan otoritas di Tanah Air dan sudah membayar semua kewajiban pajaknya.

Google dan kelicikannya menghindari pajak sudah jadi pembicaraan dunia. Bahkan istilah "Google Tax" sudah lazim digunakan oleh Australia, Inggris, India, Korea Selatan atau negara lain untuk menamai regulasi atau undang-undang yang dirancang untuk menjerat para pengemplang pajak.

Lazimnya "Google Tax" berisi aturan yang mencegah sebuah perusahaan atau wajib pajak untuk memindahkan keuntungannya ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah - modus yang sering digunakan Google untuk menghindar dari kewajiban pajak.

Pada 2012 Bloomberg melaporkan bahwa Google menghindar untuk membayar pajak penghasilan bernilai total 2 miliar dolar AS di seluruh dunia dengan memindahkan pendapatannya yang senilai 9,8 miliar dolar AS ke sebuah perusahaan cangkang di Bermuda.

Dengan memindahkan keuntungan yang diperolehnya dari seluruh dunia ke Bermuda, Google berhasil menghindar membayar separuh pajak penghasilannya. Jumlah uang yang dipindahkan ke Bermuda itu diperkirakan setara dengan sekitar 80 persen keuntungan sebelum pajak Google pada 2011.

Bermuda dikenal sebagai salah satu surga para pengemplang pajak, karena negara itu sama sekali tak menarik pajak penghasilan korporasi.

Dalam kasus di Indonesia, kata Haniv, sebagian besar pendapatan yang dikeruk Google dari Tanah Air dibukukan di Singapura, markas Google Asia Pasifik. Singapura sendiri merupakan negara dengan tarif pajak korporasi paling murah di Asia Tenggara.

Malah Bangga

Google sendiri tampaknya tak malu-malu soal strateginya itu. Meski selalu mengatakan telah membayar kewajiban pajak di negara tempatnya beroperasi, salah satu bos Google pernah mengatakan bahwa ia bangga dengan cara Google menghindari pajak.

Eric Schmidt, kepala eksekutif Alphabet yang juga pernah menjadi bos Google, dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg pada 2012 pernah mengatakan mengemplang pajak merupakan berkah kapitalisme yang disyukurinya.

"Ini yang disebut kapitalisme. Kami perusahaan kapitalis yang bangga," kata Schmidt, "Kami membayar banyak pajak, kami membayarnya dalam cara-cara legal. Saya sangat bangga dengan struktur yang kami bangun."

Tetapi belakangan sejumlah negara di Eropa mulai gencar mengejar pajak Google. Inggris, misalnya, pada Januari mencapai kesepakatan dengan Google soal tunggakan pajak.

Google sepakat membayar sebesar 130 juta poundsterling atau sekitar Rp2,2 triliun kewajiban pajaknya kepada Inggris. Inggris sejak 2011 terus menekan Google untuk melunasi kewajiban pajaknya.

Tetapi kesepakatan itu malah dikritik oleh sebagian pihak, yang menilai bahwa nilai yang dibayarkan Google sangat sedikit dibandingkan dengan kewajiban yang seharusnya dibayar setelah Google beroperasi selama 10 tahun di negeri Ratu Elizabeth itu.

Dikejar-kejar Eropa

Pada saat yang sama beberapa negara Eropa seperti Prancis, Italia, dan Spanyol mulai lebih agresif menekan Google. Italia meminta Google membayar tunggakan pajak senilai 227 juta euro untuk penghasilan pada 2014 saja. Sementara Prancis menuntut bayaran yang nilainya tiga kali lebih besar dari yang diperoleh Inggris.

Hubungan Google dengan pemerintahan-pemerintahan Eropa belakangan memang sedang kusut. Para menteri Eropa menyebut Google sebagai "kolonialis" dan mengancam akan menerapkan undang-undang pajak internet.

Di Eropa, ulas Reuters, yang menjadi pangkalan operasi Google adalah Irlandia, negara dengan tarif pajak korporasi paling kecil. Alhasil Google membayar pajak sangat kecil di sebagian besar negara Eropa.

Tidak cuma mengecam, penegak hukum di Prancis pada Mei lalu menggerebek kantor Google di Paris. Penegak hukum dari kantor kejaksaan bidang kejahatan finansial serta otoritas antikorusi dan anti-penipuan pajak Prancis, dibantu oleh 25 pakar teknologi informasi membongkar semua data Google.

Investigasi oleh Prancis sendiri bertujuan untuk menyelediki operasi Google, memverifikasi "apakah Google Ireland Ltd memiliki kantor permanen di Prancis" dan apakah Google tidak memenuhi kewajiban fiskal, termasuk pajak korporasi dan pajak pertambahan nilai.

Hanya berselang beberapa pekan, tepatnya pada Juni, kantor Google di Madrid juga digerebek oleh penegak hukum Spanyol. Penggeledahan yang melibatkan 30 penegak hukum itu bertujuan untuk mengumpulkan bukti pendapatan yang dikeruk Google di Spanyol.

Di Tanah Air, jelas Haniv, DJP telah meminta untuk mengaudit Google Asia Pasifik tetapi permintaan itu ditolak pada Juni lalu. Alhasil DJP berniat membawa kasus ini ke polisi sebagai sebuah tindak pidana.

Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 29 mengatur bahwa DJP berhak memeriksa semua usaha di Indonesia. Pasal 39 menyatakan bahwa pihak yang menolak diancam hukuman pidana dengan sanksi penjara enam bulan sampai enam tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI