Suara.com - Mayoritas penguna jasa telekomunikasi seluler sangat mendukung rencana penurunan tarif interkoneksi melalui Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi oleh pemerintah.
Hal berdasarkan hasil survei Indonesia Development Monitoring (IDM) yang dipaparkan dalam diskusi bertajuk 'Opini Publik Terkait Jasa Layanan Operator Telepon Seluler di Indonesia Terkait Tarif Yang Dibebankan Operator Jasa Telepon Seluler' di Jakarta, Selasa (6/9/2016).
"Hasil temuan survei pada konsumen jasa telepon seluler dah fix line sangat berharap dan mendukung lahirnya kebijakan pemerintah memberikan jasa layanan interkoneksi yang murah antar operator telepon," kata Direktur Eksekutif IDM, Widodo Tri Sektianto melalui keterangan tertulisnya.
Diungkapkan, sebanyak 73, 4 persen responden menyatakan setuju, sementara yang mengatakan tidak setuju terdapat 23,0 persen dan tidak tahu ada 3, 6 persen.
Dikatakan, mayoritas responden menilai tarif interkoneksi melalui sambungan telepon dan SMS antar operator seluler masih sangat mahal. Padahal untuk roaming internasional baik voice maupun data dianggap tidak mahal dibandingkan interkoneksi roaming diluar negeri.
Hal ini terbukti berdasarkan biaya terminasi lokal antar seluler sebesar Rp 250/menit. Sedangkan biaya terminasi jarak jauh bertarif Rp452 per/menit. Sehingga hal tersebut tidak logis jika dibandingkan dengan tarif on-net operator.
"Pengguna telepon seluler lebih banyak untuk kebutuhan menelepon dan SMS dibandingkan untuk digunakan keperluan social media dan akses internet, padahal responden menganggap tarif telepon interkoneksi dan SMS jauh lebih mahal," katanya.
Dijelaskan, mahalnya tarif interkoneksi antar operator dari hasil temuan survei pendapat masyarakat akhirnya membebani pelanggannya, sebab beban interkoneksi ditanggung pelanggan melalui tarif off-net yang mahal. Selain itu, mahal dan murahnya tarif on-net menyebabkan peningkatan rate di masing-masing operator, belum lagi ketidak efisienan dari pelanggan yang cenderung menggunakan lebih dari satu nomor handphone.
"Hal ini juga mengakibatkan tidak efisien dalam penggunaan nomor, padahal nomor merupakan resources terbatas," katanya.
Lebih lanjut, Widodo menyoroti, perbedaan ketetapan tarif on-nett dan tarif off-net dari operator selular, bakal menciptakan masalah tersendiri. Sebab tarif off-net operator bisa lebih dari 15 kali lebih mahal dibanding tarif on-net.
Hal tersebut, lanjutnya, bakal berakibat pelanggan operator menggunakan banyak nomer dari operator lain untuk mnghindari tarif off-net yang mahal. Selain itu, sambungnya, sudah pasti terjadi churn rate tinggi sebab promosi yang tak rasional, jor-joran di tarif on-net dan beban tarif mahal di off-net.
“Dan bisa jadi, kompetisi tarif off-net tak berfungsi, sebab operator besar tak mau merubah dan operator kecil tak berani memulai melakukan penurunan harga off-net, apalagi jika hal ini terkait dengan biaya interkoneksi di Indonesia yang masih mahal," kata Widodo.
Untuk diketahui, survei dilakukan pada tanggal 21-30 Agustus 2016 di 33 Provinsi dan 200 Kabupaten/Kota di Indonesia.Responden terpilih sebanyak 1241 penguna jasa telepon seluler dari 281.9 juta populasi pengunaan jasa operator dan SIM card yang aktif.
Survei mengunakan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen dengan Margin of Error +/- 2.6 persen.