Suara.com - Facebook Live kerap menangkap peristiwa besar. Namun, seperti siaran internet live lain, fitur ini tetap memiliki sisi gelap.
Polisi telah mengonfirmasi ke New York Times dimana seorang pria asal Chicago, Antonio Perkins (28) ditembak mati pada Rabu (15/6/2016) saat dia menggunakan Facebook Live untuk berbagi di saat malam hari.
Salah satu kekurangan yang tampak adalah kurangnya filter untuk livestreaming. Tidak seperti adegan yang ditayangkan di TV, ada beberapa filter yang dipotong saat beberapa adegan horor atau yang menggambarkan kekerasan.
Facebook tidak 'menurunkan' video Perkins dan meskipun beberapa adegan kekerasan dihapus dari video klip tersebut, tapi rekaman tersebut masih ada. Media sosial itu juga membuat grafis video peringatan sebelum Anda mulai menyaksikan tayangan. Sayang, hanya berupa peringatan tapi bukan penghentian atau pemblokiran bagi mereka yang masih belia menyaksikan tayangan tersebut.
Facebook memiliki pemikiran lain tentang livestreaming. Layanan video secara langsung memiliki potensi untuk menunjukkan sesuatu yang mengerikan. Dengan pengguna aktif lebih dari 1,6 miliar setiap bulan, potensi ini bisa berpengaruh lebih kuat.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Perkins (28) saat melakukan chatting dengan beberapa temanna mmenggunakan Facebook Live, tiba-tiba terdengar suara beberapa tembakan. Kamera langsung terjatuh ke tanah, memperlihatkan reumputan, kemudian tampilan gambar menjadi gelap.
Dalam video berdurasi 35 detik itu, kemudian terdengar seorang wanita berteriak "Ya Tuhan! Telepon polisi! Tony! Tidak!!" Ternyata Perkins yang baru saja berbincang-bincang dengan temannya itu meninggal beberapa waat setelah tiba di rumah sakit.
Ini bukan kali pertama media sosial digunakan atau bahkan menjadi bukti dari tindak kejahatan ataupun kekerasan. Pada dasarnya, media sosial terutama fitur Livestreaming dijadikan sebagai ajang untuk mengekspos berbagai peristiwa fenomena yang tidak ingin terlewatkan.