Fosil pertama Homo floresiensis, yang disebut LB1, ditemukan pada 2003 di kedalaman sekitar 6 meter. Tulang-belulang yang rapuh itu terlalu berharga untuk dianalisis menggunakan teknik radio karbon, sehingga para periset meriset beberapa batuan arang di sekitarnya dengan asumsi bahwa usia batuan itu sama dengan tulang-belulang tersebut.
Dari hasil analisis mereka batuan diperkirakan berusia 11.000 tahun.
"Entah bagaimana, manusia kerdil itu bisa bertahan hidup di pulau ini 30.000 tahun setelah manusia modern tiba. Kami bingung. Ini tak mungkin," ujar Roberts.
Sejak itu para ilmuwan terus menggali Liang Bua untuk mencari sisa fosil manusia purba dan juga untuk memahami geologi gua besar tersebut. Dari hasil penggalian terbaru, para ilmuwan menemukan bahwa bebatuan arang dari 2003 terletak di lokasi yang lapisan sedimennya sudah tersapu dan digantikan oleh batuan lebih muda.
Menggunakan beberapa metode berbeda, para Roberts dan Thomas, kemudian mengukur usia batuan serta lapisan tanah yang tergabung dalam lapisan sedimen tempat fosil Homo floresiensis ditemukan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuan dan tanah itu berusia antara 100.000 hingga 50.000 tahun.
Sebelumnya para peneliti pernah menganalisis usia perangkat batu yang diduga diciptakan oleh Homo floresiensis dan diketahui usia peralatan itu sekitar 190.000 hingga 50.000 tahun.
Penemuan ini akhirnya memecahkan kebingungan para peneliti tentang bagaimana cara Homo floresiensi hidup berdampingan dengan manusia modern. Mereka rupanya memang tak pernah hidup bersama dengan manusia modern.
Tetapi beberapa misteri masih menyelimuti Homo floresiensis. Hubungan evolusioner antara manusia purba itu dengan manusia purba lainnya belum diketahui. Demikian juga soal apakah ia pernah kawin-mawin dengan manusia modern, mengingat beberapa desa di sekitar Liang Bua masih memiliki warga yang dengan ukuran tubuh di bawah rata-rata.
Bagi dunia ilmu pengetahuan temuan terbaru ini sangat mencengangkan. Seperti yang dikatakan Tom Higham, pakar arkeologi dari University of Oxford, Inggris, usia fosil Homo florensiensis yang berdekatan dengan waktu masuknya manusia modern di kawasan Asia Tenggara bisa memiliki arti yang sangat penting.
"Ini menunjukkan adanya hubungan sebab akibat tentang punahnya Homo floresiensis," kata Higgham, yang tak terlibat dalam riset itu.