Suara.com - Pengguna internet di Indonesia mencapai 82 juta orang, yang menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), belum dilengkapi dengan pertahanan mumpuni melawan cyber crime. Hal ini disebabkan, Indonesia tidak punya badan khusus untuk menangani kejahatan dunia maya.
Sebetulnya Indonesia akan membentuk sebuah Badan Cyber Nasional (BCN), tetapi penyelesaiannya masih terus digodok Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Kondisi ini mendorong para praktisi, baik perusahaan maupun individu menggantungkan keamanan dunia maya pada kekuatan masing-masing.
Begitu pula dengan para lembaga jasa keuangan. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama ini perbankan belum "berteriak" karena sistem keamanan cyber mereka masih bisa membendung peretasan-peretasan.
Menyangkut konsumen, OJK hadir sebagai mendiator. "Biasanya yang melapor itu jumlah kerugiannya tidak besar, jadi bisa diselesaikan dengan mediasi," kata Ketua Dewan Audit yang juga anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti.
Namun walau sepertinya Indonesia dalam keadaan aman-aman saja, pakar keamanan dunia maya Gildas Deograt Lumy mengingatkan agar semua pihak tetap berhati-hati. Dia juga menyebutkan masih banyak kelemahan sistem keuangan, khususnya perbankan, di Indonesia.
Penegakan Peraturan Gildas mengatakan kelemahan lembaga jasa keuangan, khususnya perbankan, bersumber dari belum diterapkannya hukum secara benar dan maksimal. Salah satu penyebabnya, lanjut dia, adalah sifat kompetitif antarbank. Demi mengalahkan saingannya, bank tidak segan untuk mengurangi prosedur seharusnya dan tidak menerapkan manajemen risiko dengan sungguh-sungguh.
"Saya mengibaratkan ini seperti angkutan kota atau angkot. Kalau mereka beroperasi sesuai aturan, mengambil penumpang di tempat yang ditentukan, menerapkan standar keamanan sesuai peraturan, apakah akan banyak dapat penumpang?" ujar Gildas.
Intinya, jika ingin keamanan "cyber" di sektor keuangan benar-benar diterapkan, pemerintah dan pengambil keputusan lain harus terlebih dulu dibereskan.
Sebenarnya Indonesia memiliki aturan yang bisa dijadikan acuan perbankan terkait transaksi dunia maya, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum, yang di antaranya berisi tentang pengamanan informasi.
Sistem perbankan yang berlum terkelola dengan baik membuat lembaga keuangan rawan diretas untuk pendanaan tindakan kejahatan utamanya terorisme. Apalagi, tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), yang tujuan dananya tidak diketahui, secara teknis sudah bercampur dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang sumbernya tidak jelas.
"Ini sangat berbahaya," tutur dia.
Keamanan dunia maya ini juga menjadi perhatian bagi pemerintah yang memasang target nilai transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce senilai 130 juta dolar AS pada tahun 2020.
"Pemerintah berupaya memberikan keamanan dan perlindungan cyber demi mengamankan transaksi dan data pelanggan," kata Kepala Subdit Teknologi dan Infrastruktur Kominfo Noor Iza.
Keamanan cyber merupakan salah satu dari tujuh poin peta jalan perdagangan elektronik yang telah menjadi program nasional dan secara resmi dipublikasikan pada Februari 2016.
Pemerintah pun mempersiapkan tindakan-tindakan pemulihan kalau serangan dunia maya (cyber attack) terjadi dan menjalin kerja sama dengan berbagai terkait. "Cyber crime bisa datang dari mana saja," tutur Noor. (Antara)