Kisah Para Ilmuwan Pemburu Gerhana Matahari Total

Esti Utami Suara.Com
Sabtu, 12 Maret 2016 | 19:45 WIB
Kisah Para Ilmuwan Pemburu Gerhana Matahari Total
Peneliti NASA mempersiapkan peralatan untuk mengamati gerhana matahari total di Maba, Halmahera Timur, Senin (7/3). (Antara/Rosa Panggabean)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mungkin Anda bertanya untuk apa meneliti gerhana matahari total (GMT), dan apa manfaat nyata bagi kehidupan manusia dari penelitian yang hanya bisa dilakukan dalam hitungan menit di kegelapan tersebut.

"Kan tidak ada (tidak kasat mata manfaatnya) bagi kehidupan sehari-hari manusia jaman sekarang yang hanya puas dengan uang saja. Tapi ini keilmuwan, gunanya ya menambah kasanah keilmuwan, untuk membuka rahasia alam," ujar Bambang Hidayat, profesor astronomi yang pernah menjabat sebagai Kepala Observatorium Bosscha periode 1968 hingga 1999.

Ia mengatakan matahari merupakan bintang paling dekat dengan bumi dengan jarak rata-rata mencapai 149,6 juta kilometer (km). Dan memahami matahari penting untuk mengungkap rahasia bintang lain.

"Bagaimana kita bisa mengetahui bintang-bintang yang jaraknya lebih jauh kalau yang dekat saja kita tidak pahami," ujarnya.

Karena itu, menurut dia, para ilmuwan dan pemburu gerhana dunia rela menjelajah berbagai belahan bumi setiap tahunnya untuk bisa mencapai lokasi yang dilalui gerhana matahari total. Karena hanya pada saat matahari tertutup dengan sempurna oleh bulan lah kesempatan manusia dapat memandang langsung ke arah bintang yang lebih terang dibanding 85 persen bintang lain di galaksi Bima Sakti ini.

Dia menambahkan, secara sederhana apa yang dapat dipahami ketika cahaya matahari menghilang dan apa pengaruhnya pada kehidupan, yakni hilangnya warna dan perubahan panas. Jika matahari tertutup maka tidak hanya warna yang hilang, namun panasnya pun menghilang.

Bambang mengatakan kehidupan selalu dipengaruhi oleh matahari dan gravitasinya. Tapi untuk tiga menit kegelapan di pagi hari pada 9 Maret 2016 lalu tentu menimbulkan tanda tanya, apakah benar dapat mempengaruhi kehidupan, semua tentu masih harus diteliti lebih lanjut.

Misteri suhu korona Matahari hanya bagian kecil dari alam semesta, namun masih banyak dari bagian kecil ini yang belum diketahui secara pasti oleh manusia. Salah satunya korona, bagian paling luar dari atmosfer matahari yang dicirikan oleh rendahnya massa jenis dan tingginya temperatur yang masih menjadi misteri belum terpecahkan.

Ilmuwan National Aeronautics and Space Administration (NASA) Nelson Leslie Reginald usai melakukan pemantauan GMT di Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, mengatakan para ilmuwan dan peneliti saat ini mencoba untuk memahami mengapa korona begitu panas, mencapai jutaan derajat kelvin. Padahal, permukaan matahari hanya mencapai 10.000 derajat kelvin.

Hal inilah yang menurut Nelson, masih menjadi misteri.

Persoalannya adalah korona hanya dapat terlihat dari bumi saat gerhana matahari total terjadi. Karena itu, ia mengatakan hanya pada kesempatan ini manusia dapat memperoleh informasi secara langsung, mempelajari, dan memahami cahaya putih yang memancar saat matahari tertutup oleh bulan.

Saat ditanya mengapa NASA hanya tertarik meneliti elektron dari korona, dan apakah elektron menjadi kunci dari tinggi suhu korona yang mencapai jutaan derajat kelvin.

"Kita tidak katakan elektron kunci mengapa itu bisa panas sekali," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa korona terdiri dari berbagai partikel, karena itu untuk memahami secara pasti suhu dari korona maka harus diteliti satu per satu partikel yang ada di dalamnya, dan salah satu partikel yang NASA teliti adalah elektron.

Aliran partikel dalam korona ini senantiasa berubah-ubah berdasarkan suhu dan kecepatannya. Partikel-partikel ini dapat lepas dari gravitasi matahari karena energi kinetik dan suhu tinggi dari korona.

Karena itu, Reginald saat mempresentasikan makalah tentang instrumen yang dibawa NASA ke Maba di America, Jakarta, mengatakan tim Badan Antariksa Amerika Serikat kali ini hanya tertarik untuk mengetahui suhu dan kecepatan aliran elektron pada korona dengan membawa kamera polarisasi baru khusus untuk diujicobakan dalam pemantauan GMT 2016 di Alun-alun Jiko Mobon kota Maba.

Bukan hanya peneliti-peneliti NASA yang tertarik untuk mengungkap misteri suhu korona di Maba. Mahasiswa dari Institut Astronomi Universitas Hawaii Benjamin Boe yang menjadi bagian dari tim peneliti internasional The Solar Wind Sherpas yang selama ini berkeliling dunia untuk mengobservasi dan mengkoleksi data GMT juga datang ke Maba.

Benjamin yang akrab disapa Ben ini juga mencoba memperoleh warna berbeda dari korona dengan empat kamera berbeda untuk kemudian dilihat perbedaan suhunya.

"Kamu bisa melihat korona (saat GMT), jadi kita ambil perbedaan warna cahayanya saat itu, mereka menceritakan hal berbeda," kata Ben yang ditemui di gedung belakang Kantor Bupati Halmahera Timur.

Pada dasarnya korona dengan suhu satu hingga dua juta derajat Kelvin akan tertangkap kamera dengan warna spesifik yang berbeda. Dari sana, ia mengatakan dapat diketahui temperatur tertentu pula.

"Dengan demikian kita harap bisa tahu (partikel) korona ini melakukan, (partikel) korona itu melakukan apa," ujar Ben.


Memahami "garis terlarang" Jika suhu dan kecepatan elektron pada korona menjadi hal penting yang ingin diketahui NASA, maka tim peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) datang ke Maba untuk memahami zat-zat penyusun korona.

"Kita sebenarnya sudah tahu ion-ion yang membentuk korona, tapi kita ingin mencari tahu seberapa kuat mereka mempengaruhi korona," kata Sungging saat ditemui di Alun-alun Jiko Mobon.

Ia mengatakan timnya ingin menemukan ion besi atau istilah lainnya "garis terlarang" yang tidak bisa ditemukan di laboratorium bumi, tetapi hanya ditemukan di matahari.

"Mereka penyusun korona dan hanya bisa diamati dari bumi saat gerhana matahari total terjadi. (Garis terlarang) akan tampak seperti garis saja di layar laptop," ujar Sungging.

Tim peneliti akan menginterpretasikan garis terlarang dari korona yang bermakna yang berhasil terekam LAPAN Compact Litro Spectrograph saat GMT terjadi, katanya.

"Cahaya akan bercerita banyak, kapan dia berwarna merah, dan kapan berwarna biru. Dari sana ada penjelasannya," ujar Sungging.

Sungging menyebutnya "serendipity astronomy". Astronom tidak akan pernah tahu kapan dan apa yang akan muncul dari hasil penelitiannya, dan manfaat apa yang bisa diterima umat manusia nantinya dari hasil penelitian tersebut.

Namun masing-masing dari mereka, para peneliti dan ilmuwan astronomi seperti Emanuel Sungging, Bambang Haryadi, Benjamin Boe, dan Nelson Leslie Reginald, memiliki "romantisme astronomi" sendiri-sendiri yang selalu siap menggoda mereka untuk menyibak rahasia alam semesta.

Jika Sungging memimpikan pembuktian hipotesa sederhana dari siklus tenang matahari, dan Reginald memimpikan Nobel Fisika dari sebuah model distribusi temperatur korona, semua itu menjadi sah-sah saja.

Tidak perlu gusar nantinya memikirkan apa hasil atau manfaat dari hipotesa mereka untuk kehidupan manusia saat ini. Bukankah gelombang gravitasi yang diajukan Albert Einstein pada akhirnya terbukti, meski butuh waktu 100 tahun untuk mampu mendeteksinya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI