Tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang melakukan pengamatan di area Jembatan Ampera mengaku hanya lima kali menangkap pencahayaan menuju puncak Gerhana Matahari Total (GMT), hari ini, Rabu (9/3/2016), di Palembang, Sumatera Selatan.
Kepala Bagian (Kabag) Humas LAPAN Jasyanto mengatakan, saat pengamatan berlangsung hanya dapat menikmati lima kali pencahayaan sebelum puncak GMT yang diliputi awan.
"Saya hanya lima kali melihat cahayanya, melalui kaca mata gerhana. Saat puncak GMT sama sekali tidak bisa dilihat,"ujar Jasyanto di area Jembatan Ampera kemarin pagi.
Dia menambahkan, awalnya memprediksi puncak GMT yang seharusnya terjadi dengan penampakan keindahan korona matahari terjadi selama 1 menit 52 detik. Namun karena kondisi awan, penampakan korona matahari dan efeknya tidak bisa dideskripsikan langsung kepada masyarakat.
"Namun keliru jika kita menyebut ini gagal, karena semua ini takdir ada situasi yang mempengaruhi kita tidak bisa melihat puncak GMT dari Ampera. Namun, ini sudah bagus, kita diberikan kesempatan melihat fenomenanya tadi. Seperti melihat proses matahari mulai tertutup, kondisi gelap, hingga matahari muncul lagi. Skala tutupan dengan pancaran cahaya yang sempat terlihat yakni pada peresen ke 30, 40 50, 80, dan 90,"jelas dia.
Dia mengatakan, pihaknya sudah memperkirakan kondisi akan berawan. Diakuinya, sejak pagi awan cukup tebal menutupi matahari. Kemudian, proses terjadinya Gerhana dimulai sejak sekitar pukul 06.35 WIB dan puncak GMT sekitar 07.20 WIB.
"Info BMKG, pengaruh asap sebenarnya cukup kecil namun yang berpengaruh karena faktor dominan awan mengandung air yang terpantau dari Satelit cuaca LAPAN yang ada di Bandung,"tandasnya.
Jasyanto mengaku, berdasarkan pemantauan LAPAN selam dua pekan terakhir kondisi langit tertutup awan dengan kandungan air namun sempat berangsur cerah beberapa hari terakhir.
" Nah, saat hari H adanya GMT kondisi kota Palembang berawan. Kondisi awan sempat dipengaruhi angin hingga terjadi penggumpalan dan penebalan. Faktor asap pabrik rasanya kecil. Karena melihat proses dalam dunia antariksa terlalu luas,"tuturnya.
Dia menjelaskan, LAPAN melakukan ekspedisi dan pengamatan di berbagai daerah bahkan penelitian ke pelosok negeri. Untuk Palembang, peneliti atmosfer mengamati respon atmosfer bumi saat gerhana. Pihaknya juga meneliti dampak GMT terhadap perubahan intensitas radiasi matahari dan parameter fisik seperti temperatur. Termasuk penelitian dampak GMT terhadap laju fotosintesis yang diamati dengan perubahan pola-pola diurnal karbon dioksida. GMT terjadi ketika piringan matahari tertutup selu oleh piringan Bulan yang mel diantara matahari dan bumi.
"Kami bersama Disdik Sumsel, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi serta Komunitas Lubang Jarum Indonesia melaksanakan edukasi keantariksaan 8-9 Maret ini. Kami juga beri kesempatan masyarakat lihat GMT melalui teleskop," jelas dia.