Suara.com - Kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin usai minum kopi di sebuah kafe di pusat kota Jakarta, belum lama ini, menarik perhatian publik terutama terkait ditemukannya bukti satu senyawa "pembunuh" bernama sianida. Ini hampir sama seperti ketika aktivis Munir meninggal dibunuh beberapa tahun lalu, di mana arsenik muncul sebagai nama racun dalam kasusnya.
Namun, ada zat atau elemen lain yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dan mematikan ketimbang sianida maupun arsenik. Salah satunya adalah polonium, atau tepatnya polonium-210, sebuah elemen radioaktif yang --khusus terkait kasus pembunuhan-- diduga merupakan penyebab tewasnya mantan mata-mata Rusia, Alexander Litvinenko, setelah dimasukkan ke dalam teh yang diminumnya.
Apa itu polonium?
Sebagaimana antara lain ditulis laman IFLScience, polonium adalah sebuah elemen radioaktif yang biasanya ada dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak berbahaya secara langsung bagi manusia. Elemen ini ditemukan pada tahun 1898 lalu oleh Marie Curie, saat melakuan penelitian terhadap bijih uranium. Curie menamainya sesuai negara asalnya yaitu Polandia, dengan simbol kimia "Po". Dalam daftar tabel periodik, polonium bisa ditemukan di bagian bawah kelompok yang didahului oleh oksigen dan sulfur.
Sebenarnya, ada 30 isotop polonium yang berbeda-beda, dengan massa atom mulai dari 194 sampai 218 yang masing-masingnya hanya dibedakan atas jumlah neutronnya. Namun yang paling signifikan adalah polonium-210, yang kebetulan juga adalah yang ditemukan oleh Curie.
Meski awalnya polonium-210 diketahui terisolasi dari bijih uranium, saat ini elemen tersebut sudah bisa dibuat dengan cara membombardir atom logam bismuth dengan neutron. Menurut keterangan seorang pakar yang bersaksi dalam kasus Litvinenko, ada satu tempat di dunia yang diketahui "memproduksi" polonium yaitu fasilitas nuklir yang sudah ditutup di Sarov, 500 mil sebelah tenggara Moskow.
Sangat mematikan
Polonium disebut sebgai salah satu zat paling mematikan yang diketahui manusia. Begitu berbahayanya, beberapa sumber bahkan menyebutnya bisa miliaran atau 1 triliun kali lebih beracun atau mematikan ketimbang hidrogen sianida. Polonium bersifat radioaktif karena mengeluarkan partikel alfa (ion-ion helium).
Namun, karena begitu mudahnya diserap material lain, bahkan sekadar oleh kertas tipis maupun sedikit udara, maka polonium hanya akan berbahaya bagi manusia ketika masuk ke dalam tubuh. Di sisi sebaliknya, partikel alfa yang mudah diserap itu juga membuat polonium sulit dideteksi alat pemeriksa radiasi semacam Geiger, sehingga kemungkinan lebih mudah diselundupkan ketimbang zat berbahaya lainnya.
Jika polonium diketahui belum lama masuk ke dalam tubuh, secepatnya masih bisa dibantu mengatasinya dengan mencuci isi perut atau menyedotnya keluar (gastric aspiration). Obat-obatan semacam yang digunakan unuk mengatasi keracunan logam-logam berat lainnya, juga bisa dipakai asal dilakukan dengan segera.
Namun begitu polonium sudah masuk ke dalam darah, maka daya rusaknya dipastikan sudah akan segera terasa. Yang pasti secara singkat, polonium akan menyebabkan apa yang disebut sindrom radiasi akut, dan korban akan meninggal lantaran gagal berfungsinya beberapa organ dalam sekaligus.
Radiasi alfa dari polonium diketahui memecah ikatan kimiawi di sel-sel hidup, juga merusak DNA, serta menciptakan banyak sekali ion radikal bebas yang sangat reaktif yang akan merusak lebih jauh. Salah satu akibat spesifiknya adalah berkurangnya sel darah putih, yang terlepas dari dampak lainnya pun sudah membuat korban rentan infeksi dan butuh transfusi darah.
Hati, ginjal, limpa dan sumsum tulang, merupakan target khusus kerusakan parah akibat radiasi alfa. Kerusakan pada sistem pencernaan itu pun segera menimbulkan mual dan muntah-muntah. Sumsum tulang berpotensi sama sekali rusak dalam hitungan hari. Sasaran lainnya adalah folikel rambut, yang dalam kasus Litvinenko segera terlihat menjelang kematiannya.
Dugaan kasus terkait polonium
Litvinenko yang diduga diracun di London pada November 2006, diyakini bukanlah korban satu-satunya dari polonium. Pada tahun 1956, putri Marie Curie sendiri yang juga adalah peneliti bernama Irene Joliot-Curie, meninggal karena leukemia yang diyakini akibat terpapar polonium selama beberapa tahun sebelumnya.
Kasus lainnya masih belum bisa dipastikan. Namun berdasarkan beberapa sumber, sejumlah pihak meyakini bahwa mendiang pemimpin Palestina, Yasser Arafat, adalah juga salah satu korban pembunuhan menggunakan racun polonium. [IFLS]