Suara.com - Data yang disampaikan Sekjen Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) Tony Sumampau dalam sebuah kegiatan orientasi konservasi alam bagi kalangan wartawan pada Minggu (22/11/2015) semestinya membuat bangga karena sekurangnya 416 jenis burung endemis ada di Nusantara.
Disebut jenis endemis karena satwa itu hanya terdapat di Indonesia.
"Jumlah 416 jenis itu yang membuat Indonesia berada di posisi nomor satu di dunia dalam hal keanekaragaman jenis burung endemis," kata pegiat konservasi itu.
Namun demikian, dari 416 jenis itu, terdapat 146 jenis burung yang terancam punah, sehingga dibutuhkan energi besar untuk menyelamatkannya.
Pada kegiatan Orientasi Wartawan Konservasi Alam (Owaka) 2015 di lembaga konservasi "ex-situ" (di luar habitat alami) Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu ia juga menyodorkan data bahwa Indonesia memiliki 1.666 jenis burung, yang menempatkan Indonesia sebagai nomor empat terbanyak di dunia.
Mengenai penyebab terancam punahnya ratusan burung jenis endemis itu, menurut Tony, antara lain karena rusak dan menyempitnya habitat serta akibat perburuan.
Ancaman lainnya adalah penangkapan berlebihan, perdagangan serta penyelundupan burung, terutama jenis-jenis eksotis.
"Khusus untuk burung kicauan (song bird), perburuan meningkat seiring dengan kebutuhan untuk hobiis dan lomba burung yang marak di berbagai kota," katanya pada kegiatan yang diikuti wartawan, penangkar, hobiis satwa, dan juga kepolisian itu.
Kanit V Subdit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Mabes Polri AKBP Sugeng Irianto dalam forum itu mengemukakan bahwa bisnis penyelundupan satwa di dunia menempati urutan nomor 3 tindak kejahatan setelah narkoba dan perdagangan orang (trafficking).
Pihaknya menengarai maraknya penyelundupan satwa liar ke luar negeri karena masyarakat tergiur dengan harga yang tinggi.
Ia memberi contoh burung kicau yang harganya di Indonesia Rp500 ribu, namun di luar negeri bisa berkali-kali lipat hingga Rp5 juta.
Sedangkan jumlah kerugian negara akibat penyelundupan satwa liar, kata dia, saat ini belum/tidak ada angka pasti, karena dari anakan hingga dewasa harganya berbeda.
Pengurus "Kicau Mania", organisasi pecinta burung berkicau yang mengakui anggotanya mencapai 60 ribu orang di seluruh Nusantara, Giri Prakosa, mengatakan memelihara burung sudah menjadi budaya, industri, dan juga bermotif ekonomi.
"Transaksi burung ini bisa mencapai miliaran rupiah setiap bulannya," kata dia, seraya menambahkan sehingga tidak mengherankan permintaan untuk burung jenis ini tak pernah mati.
Tangkapan Alam Merujuk hasl survei yang dilakukan oleh Burung Indonesia bersama Universitas Oxford, Darwin Initiative bekerja sama dengan The Nielsen pada 2006, Tony Sumampau menyatakan sejumlah 58 persen kebutuhan satwa burung dipasok dari tangkapan dari alam.
Hasil tangkapan tersebut kebanyakan dipasok ke pasar burung.
Sedangkan organisasi "Traffic" menghimpun data di tiga pasar burung di Jakarta pada 2004, yang menyimpulkan 50 persen burung tangkapan yang dipasok ke pasar burung mati dalam waktu 24 jam.
Kematian itu terus berlanjut, hingga yang tersisa hidup hanya 20 persen.
Hasil studi pada jenis burung beo nias (Gracula robusta) itu tidak menutup kemungkinan pada burung jenis lain.
"Kini populasi beo nias sudah sangat kritis. Berdasarkan survei selama tiga bulan, di habitat aslinya tinggal 23 ekor saja," tuturnya.
Beo nias merupakan prioritas pertama dalam daftar 10 jenis burung kicauan yang diselamatkan yang ditetapkan dalam "Asian Song Bird Crisis" di Singapura, September 2010.
Sembilan jenis lainya yaitu jalak bali, jalak putih, jalak suren, murai batu medan, cucak rawa, ekek geling, poksai kuda, poksai sumatra, dan anis kembang.
Tony juga menyampaikan pada 30 September lalu, para pegiat konservasi diundang oleh Presiden Joko Widodo untuk diskusi soal konservasi.
Dari hasil pertemuan tersebut, Presiden mengambil langkah untuk fokus pada dua langkah nyata, yaitu fokus pada perbaikan dua kebun binatang milik pemerintah dan konservasi dua spesies grup.
"Salah satu spesies grup yang diutamakan adalah penyelamatan burung berkicau," katanya.
Burung kicauan belum ada yang mengurus sehingga terjadi penangkapan berlebihan karena bukan termasuk burung yang dilindungi.
Kegiatan Owaka 2015, berbeda dengan tahun sebelumnya, dihasilkan rekomendasi langkah penyelamatan burung berkicau.
Usulan itu disampaikan dengan tetap mewadahi kepentingan para "kicaumania", namun juga mengindahkan konservasi.
Rekomendasi tersebut antara lain usulan untuk membuat aturan berupa Keppres (keputusan presiden) tentang burung berkicau.
Selain itu juga mengatur bahwa burung yang dilombakan dan diperjualbelikan merupakan burung hasil penangkaran.
Usulan itu rencananya dilaksanakan dalam jangka waktu tiga tahun.
Bila berjalan baik, upaya penyelamatan burung endemis Indonesia akan menjadi cerita sukses lanjutan yang sebelumnya telah diukir pada jalak bali.