Teknologi Satelit Indonesia Tertinggal dari Malaysia

Ardi Mandiri Suara.Com
Jum'at, 14 Agustus 2015 | 06:49 WIB
Teknologi Satelit Indonesia Tertinggal dari Malaysia
Ilustrasi satelit. [shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penguasaan teknologi satelit yang dimiliki Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura maupun Vietnam, kata Deputi Teknologi Dirgantara LAPAN, Rika Andiarti dalam sosialisais pemanfaatan teknologi Satelit LAPAN A2/Orari di Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/8/2015).

Saat ini negara melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN, Indonesia mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan terus mengembangkan teknologi satelit, katanya.

"Negara kita sedang gencar-gencarnya mengejar ketertinggalan setelit, seperti Vietnam sudah membeli satelit optik dari Amerika, begitu juga dengan Thailand juga sudah membeli dari Eropa, bahkan Malaysia sudah membangun fasilitas IT satelit untuk negaranya," ia mengatakan.

Rika mengatakan, sejak awal 2003 Indonesia sudah mulai mengembangkan satelit mikro lebih dulu dibanding negara-negara sahabat. Pengembangan satelit ini dilakukan bekerja sama dengan negara luar, yakni Jerman.

Langkah tersebut mulai ditiru oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia pun sudah mengembangkan satelit mikro yang bekerja sama dengan Inggris. Kini Malaysia sudah memiliki dua satelit masing-masing berbobot 200 kg dan 1.000 kg.

"Ternyata setelah langkah Indonesia melakukan pengembangan satelit dengan bekerja sama di luar, banyak negara-negara lain setelah itu juga mulai mengembangkannya bahkan lebih aktif lagi dibanding kita," katanya.

Singapura yang ikut meniru cara Indonesia memulai kerja sama membuat satelit di luar, bahkan sudah lebih cepat dengan membuat satelit kelas 500 kg yang diluncurkan 2015 ini.

"Singapura juga membuat fasilitas AIT," kata dia.

Selanjutnya Thailand juga sudah membeli dua satelit operasional dari Francis dengan bobot 750 kg pada tahun 2008, lalu membeli lagi satelit kedua dengan bobot yang sama. Menyusul Vietnam yang awalnya membeli satelit sudah jadi, kini sudah membangun fasilitas produksi satelit di dalam negeri.

"Vietnam sebelumnya sudah meluncurkan dua satelitnya, sekarang mereka sedang mengembangkan satelit radar dengan Jepang," katanya.

Ia mengatakan, saat ini Indonesia sedang bersaing dengan negara-negara tetangga, yang sudah lebih jauh perkembangan teknologi satelitnya. Mengejar ketertinggalannya, LAPAN mencoba membuat satelit tidak hanya satelit operasional tetapi satelit lainnya.

"Kita akan menguasai satelit pengindaran jarak jauh dan komunikasi. Ini akan mengejar ketertinggalan kita," katanya.

Saat ini Indonesia sudah mengembangkan satelit mikro dengan bobot 100 kg, dan membangun fasilitas AIT yakni perancang, pembangunan dan pengujian satelit. Tahap kedua, akan dikembangkan satelit operasional dalam negeri yang dapat diluncurkan di Indonesia menggunakan roket pegasus dari Biak.

Menurut Rika, kendala yang dihadapi dalam pengembangan teknologi satelit adalah anggaran. Karena pembuatan satelit membutuhkan anggaran yang sangat besar, terutama untuk pengembangan satelit operasional.

Ia mengatakan, dukungan pemerintah terhadap pengembangan teknologi satelit sudah cukup bagus, khususnya untuk satelit sekelas mikro. Anggaran yang diberikan oleh pemeirntah cukup terencana sampai 2019 yakni mulai dari satelit LAPAN-A1 sampai LAPAN-A5.

"Tetapi untuk satelit generasi selanjutnya yang merupakan lompatan besar ke arah satelit operasional, kita harus berjuang mendapatkan anggaran, meyakinkan pemerintah bahwa satelit penting dan pemanfaatannya untuk kepentingan nasional," katanya.

Rika menambahkan, upaya yang dilakukan LAPAN untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam teknologi satelit, ada beberapa tahapan yang dilakukan yakni dengan cara lambat, moderat dan agresif.

"JIka kita tidak mendapat anggaran yang cukup besar, maka dibuat cara moderat, membentuk konsorsium, LAPAN akan bekerja sama dengan perguruan tinggi, mengerahkan semua potensi yang ada, dengan anggaran yang tidak terlalu besar, tapi mungkin akan memakan waktu, tapi kita optimistis Indonesia bisa," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI