Suara.com - Alat pendeteksi kebohongan atau yang lebih dikenal dengan sebutan lie detector menjadi salah satu alat yang dipakai kepolisian untuk membantu menyelidiki kasus kematian Engeline Margriet Magawe (Angeline), bocah kelas 2 SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar, Bali.
Dengan alat ini, polisi menguji keterangan Agus, lelaki yang sejauh ini dijadikan tersangka tunggal pembunuhan Angeline. Menurut Kapolda Bali, Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie, hasil lie detector akan dikolaborasikan dengan fakta-fakta yang ada untuk mengungkap misteri kematian Angeline.
Lie detector sejatinya adalah polygraph, sebuah alat yang ditemukan mahasiswa kedokteran Universitas California, John Augustus Larson pada tahun 1921. Alat ini memantau indikator-indikator psikologis seperti tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan konduktivitas kulit ketika seseorang diminta menjawab serangkaian pertanyaan.
Pada prinsipnya, jika jawaban yang diberikan berupa kebohongan, polygraph akan menunjukkan peningkatan pada masing-masing indikator psikologi seperti disebutkan di atas. Sebaliknya, jika jawaban yang diberikan adalah jawaban jujur, maka grafik yang ditunjukkan pun berbeda.
Di beberapa negara, termasuk di Indonesia tentunya, polygraph digunakan sebagai alat interogasi tersangka kasus kejahatan. Namun, polygraph terkadang juga dipakai untuk menguji kandidat yang bakal menduduki sebuah jabatan di instansi pemerintah maupun swasta.