Suara.com - Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang meminta para penyelenggara jasa internet di Tanah Air untuk memblokir situs-situs yang dinilai menyebarkan paham radikal dipertanyakan oleh sejumlah pakar teknologi komunikasi dan aktivis media.
Onno Purbo, salah satu pakar teknologi komunikasi, lewat akun Twitter dan Facebook-nya mengatakan bahwa proses blokir situs sebenarnya sama saja dengan penyadapan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
"Padahal di aturan yang ada, penyadapan harus berdasar perintah pengadilan. Blokir situs, dasarnya apa ya?" tulis Onno.
Proses blokir situs = penyadapan++ .. Di aturan yg ada, penyadapan harus berdasar perintah pengadilan. Blokir situs, dasarnya apa ya?
— Onno W. Purbo (@onnowpurbo) March 30, 2015
Protes senada juga dilayangkan oleh Nukman Lutfie, pegiat di bidang teknologi komunikasi. Ia mengatakan bahwa untuk memblokir situs berkonten radikal bisa dilakukan atas perintah pengadilan.
Lawan konten negatif itu konten positif. Bukan blokir. Kecuali pengadilan yang menentukan.
— Nukman Luthfie (@nukman) March 31, 2015
Kritik yang sama disampaikan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga ini menilai pemerintah telah sewenang-wenang memblokir situs-situs internet tanpa proses hukum yang jelas.
"ICJR menyerukan agar para korban pemilik situs yang situsnya diblokir oleh pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika karena telah melakukan perbuatan melawan hukum," tulis organisasi ini dalam situs resminya.
Sebelumnya Kemkominfo menyatakan telah memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal di Indonesia. Semua itu berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).