Suara.com - Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, sejak tahun 2011, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan seks online terus meningkat. Angkanya bahkan mencapai 1.022 anak hingga tahun 2014.
Terkait hal itu, KPAI menilai bahwa besarnya angka kejahatan dan pornografi anak secara online, tak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan dari orangtua. Menurut Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti, teknologi yang semakin berkembang saat ini, nyatanya tak dibarengi dengan pengetahuan orangtua soal internet dan teknologi informatika.
"Teknologi berkembang dengan cepat. Anak-anak pun selalu lebih unggul dalam penguasaan ini dibanding orangtua. Hal ini bisa dilihat dari tidak semua orangtua punya dan menggunakan secara intens media sosial (medsos), bahkan mungkin nggak tahu apa itu Facebook atau Twitter," ujar Maria, saat temu media di Gedung KPAI, Jakarta, Selasa (10/2/2015).
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif DNS Nawala, Muhammad Yamin, orangtua seyogyanya juga ikut melek teknologi informasi, serta mengikuti perkembangan media sosial yang sering kali disalahgunakan untuk melakukan tindak kejahatan.
"Bukan berarti harus punya semua media sosial yang dimiliki anak. Setidaknya, paham dulu fungsi aplikasi atau media sosial itu sendiri, agar bisa mengingatkan dan memantau aktivitas anak saat menggunakan internet," ujarnya di kesempatan yang sama.
Yamin mencontohkan, orangtua setidaknya mengenal dengan siapa saja anaknya berteman di dunia maya. Orangtua juga bisa memberi pesan dan pemahaman untuk tidak terlalu mempercayai orang yang baru dikenal anaknya di dunia maya.
"Anak-anak perlu diingatkan bahwa teman-teman baru di dunia maya bisa jadi 'predator' yang menyamar. Jadi, harus lebih waspada dan terus membangun keterbukaan antara orangtua dan anak," imbuhnya.