Suara.com - Sebagaimana ruang-ruang publik yang mulai hijrah ke dalam kamar-kamar di dunia maya, sekolah tempat anak-anak menuntut ilmu juga sudah mulai membuka kelas-kelas di internet.
Kesadaran akan fenomena ini menjadi latar belakang lahirnya Kelase, sebuah platform media sosial khusus untuk pendidikan.
Menyebut Kelase, yang lahir di pertengahan 2014, sebagai media sosial tak akan lengkap. Harus ditambahkan dengan sebuah penjelasan, bahwa platform ini adalah bentuk sekolah masa depan untuk pelajar yang tidak saja berbasis internet, tetapi lebih menekankan pada perangkat mobile.
"Kelase adalah platform edukasi mobile pertama di Indonesia. Pendekatannya bukan lagi hanya e-learning, tetapi mobile learning," kata Winastwan Gora, salah satu pendiri Kelase, dalam perbincangan dengan suara.com di Jakarta, baru-baru ini.
Gora mengatakan bahwa Kelase adalah sebuah gagasan untuk memindahkan sekolah ke dalam genggaman tangan para peserta belajar, baik itu murid-murid, guru, orang tua murid, maupun institusi sekolah itu sendiri.
Ia mengatakan dengan Kelase, para guru dan murid, bisa melaksanakan proses belajar mengajar yang tadinya hanya berjalan di dalam kelas, ke ruang-ruang media sosial yang bisa dengan mudah diakses melalui telepon seluler atau komputer tablet.
"Anak-anak di Indonesia sudah banyak menggunakan tablet dan smartphone. Tetapi sayang, mereka masih banyak menggunakannya hanya untuk berkomunikasi dan bermain (game). Dengan Kelase, kami berharap teknologi mobile ini juga bisa dimanfaatkan sebagai alat belajar," tukas Gora.
Kelase kini sudah tersedia dalam format web yang bisa diakses melalui komputer konvensional maupun melalui aplikasi di telepon seluler pintar berbasis Android. Rencananya Kelase juga akan diluncurkan di telepon seluler bersistem Windows.
Tak Semua Bisa Masuk
Platform itu, jika dilihat sekilas, sangat mirip dengan Facebook. Di dalamnya para pengguna menulis status, saling berkomentar, mengunggah foto dan dokumen, serta dilengkapi dengan fitur chatting. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara Kelase dengan Facebook.
"Kelase adalah jejaring sosial tertutup," tegas Brimy Laksmana, salah satu pendiri yang kini menjabat sebagai CEO PT Edukasi 101, perusahaan tempat Kelase bernaung.
Berbeda dari Facebook yang terbuka, yang penggunanya bisa melihat siapa saja di dalamnya secara leluasa, Kelase adalah media sosial yang tertutup. Tidak semua orang bisa masuk di dalamnya.
Prosedur mendaftar ke Kelase, jelas Brimy, dimulai dari institusi, baik itu sekolah (SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi), lembaga informal seperti lembaga les privat, maupun lembaga home schooling. Setelah institusi mendaftar, guru, murid, dan orang tua bisa masuk di dalamnya.
"Yang mendaftar pertama adalah sekolah sebagai institusi. Setelah itu, akan ditunjuk seorang admin untuk sekolah tersebut. Admin itu akan diberi kode-kode unik yang dibagikan kepada guru, murid, dan orang tua agar mereka bisa mendaftar ke Kelase," jelas Brimy.
Dengan demikian, sambung Brimy, para murid yang berada di dalam Kelase hanya akan berhubungan dengan orang-orang yang dia kenal dan hanya akan berkomunikasi tentang hal-hal di sekitar pendidikannya di sekolah.
Di dalam Kelase guru dan murid bisa menggelar aktivitas belajar mengajar seperti layaknya di dalam kelas, mulai dari berdiskusi, pemberian materi, mengerjakan pekerjaan rumah, membaca, dan mengerjakan kuis. Kelase menyediakan fitur yang dinamakan "Kelas" untuk tujuan itu.
"Di sana guru bisa mengunggah materi pelajaran, bahan bacaan dalam bentuk PDF atau tautan, maupun memberikan kuis. Murid-murid bisa mengunggah pekerjaan rumahnya di sana dan para guru bisa mengunduh serta memeriksanya secara langsung," jelas Gora.
Kelase menyediakan fitur grafik pengukur kemajuan belajar, yang bisa menjadi sumber informasi bagi orang tua maupun guru yang ingin melihat kemajuan belajar anak atau murid mereka.
"Itu dihitung dari sudah berapa banyak materi yang dia baca, berapa banyak pekerjaan rumah yang dia selesaikan, dan seberapa aktif dia di dalam forum-forum diskusi," tambah Gora lagi.
Selain fitur Kelas, dalam Kelase juga ada fitur Edukonten. Di dalamnya disediakan berbagai materi mulai dari buku, artikel, foto, video, bahkan game edukasi yang berkaitan dengan pelajaran para siswa.
"Yang mengisinya bisa guru, para penerbit, atau pun dari Kelase sendiri," ujar Brimy.
Meski demikian Brimy dan Gora, yang sempat bekerja untuk raksasa teknologi Amerika Serikat, Intel, mengatakan bahwa Kelase tidak serta merta meniadakan sekolah konvensional.
"Ini sebenarnya konsep Pembelajaran Abad 21, ketika guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi murid. Ruang kelas di sekolah tetap menjadi arena belajar, tetapi di sana murid dan guru lebih terlibat dalam aktivitas seperti diskusi dan presentasi. Proses pemahaman materi dari guru ke murid diselesaikan di Kelase," kata Brimy.
Sumber Uang?
Meski demikian, untuk mewujudkan gagasan mereka dan melanggengkan Kelase, Brimy dan Gora mengaku masih banyak menemui tantangan.
"Salah satu tantangan adalah pengetahuan guru. Banyak guru yang belum akrab dengan internet. Ditanya tentang email saja mereka masih gagap," kata Brimy.
Karenanya untuk mengatasi hal itu, Brimy dan timnya kerap menggelar pelatihan di berbagai wilayah di Tanah Air untuk memberikan pemahaman tentang teknologi pada para guru.
Selain itu, modal juga menjadi kendala utama. Startup seperti Kelase, membutuhkan modal banyak untuk tumbuh dan berkembang, menjangkau lebih banyak pengguna. Pada 2014 lalu Kelase sempat mendapat aliran modal dari lembaga investasi lokal, Insight Ivestment.
"Dana itu kami gunakan untuk mengembangkan sumber daya manusia di Kelase, untuk membangun tim kami," kata Brimy.
Tetapi di masa depan, ujar Brimy, Kelase akan memanfaatkan beberapa peluang untuk mendulang uang.
"Pertama tentu dari iklan," kata dia, "Tetapi karena ide kami tentang pendidikan, kami tidak bisa menerima sembarang iklan. Konsepnya kami akan menerima iklan dari perusahaan atau perorangan dalam program yang kami sebut our heroes. Mereka akan membayar kami untuk membuat sebuah konten bernilai edukasi di Kelase, yang di dalamnya menyebut nama atau merek mereka," beber Brimy.
Selain dari iklan, sambung Gora, Kelase akan mencari pendapatan dari konten yang disediakan di dalam platform itu.
"Guru, developer, atau penerbit bisa menjual materi, buku, atau konten yang lain di Kelase. Sistemnya nanti bagi hasil," ujar Gora.
Sejauh ini sudah ada 1750-an institusi pendidikan yang menggunakan Kelase dan hampir 6000 pengguna terdaftar. Pada Januari 2015 ini, Kelase akan meluncurkan aplikasi native di Android dan di Februari mendatang akan meluncurkan aplikasi messenger yang terpisah dari layanan utama Kelase.