Makin Marak, "Curhat" di Sosmed Berujung Penjara
Korban ibu rumah tangga, satpam, tukang sate, PNS, polisi, politikus hingga pelajar SMA.
Suara.com - “Statusmu harimaumu”, demikian ungkapan yang diplesetkan karena semakin banyak warga yang terjerat kasus sepele, namun akibat yang ditimbulkan sangat fatal. Hanya mengunggah status atau "curhat" di Facebook, Twitter, Line, grup blackberry messenger, whatsApp, SMS ataupun komentar pembaca, kemudian ada pihak lain yang tersinggung, tidak senang dan melaporkan ke polisi. Jadilah pemasang status dalam waktu singkat masuk penjara dan diancam hukuman 5 tahun penjara. Ngeri!
Kasus paling gres Rabu, 24 Desember 2014 kemarin, Fadli Rahim, seorang pegawai negeri sipil di Gowa, duduk di kursi terdakwa gara-gara menulis di grup Line yang mengkritik bupatinya dengan bahasa Makassar yang kurang lebih berarti, “Ada banyak investor tidak jadi proyek karena bupati tidak dapat komisi”.
Sang Bupati tersinggung, meski status tersebut bukan baru. Fadli pun diberi sanksi bertubi. Pangkat diturunkan, masuk penjara dan kini terancam dipecat. Fadli sendiri mengaku sudah lupa pernah menulis status apa saja di grup Line yang terbatas tersebut.
Di Bantul Yogyakarta, seorang ibu rumah tangga Ervani Emihandayani, 29 tahun, meringkuk di penjara gara-gara “curhat” di Facebook setelah suaminya berselisih dengan atasan di perusahaan tempat kerja. Curhat juga sepele, “Iya sih. Pak Har baik, yang nggak baik itu yang namanya Ayas dan spv lainnya. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil”.
Baca Juga: Skakmat Nikita Mirzani, Razman Arif Nasution: Pulang Umrah Kok Malah Doain Masuk Penjara
Status di akun Facebook Ervani ini kemudian dijadikan bukti pihak atasan untuk menjeratnya hingga masuk penjara. Ervani dipanggil polisi dan langsung dijadikan tersangka saat pemeriksaan pertama. Ia kemudian diadili di PN Bantul, meski kemudian hakim mengeluarkan dari tahanan.
Dua kasus di atas hanya contoh kasus kecil dari puluhan kasus warga yang terjerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat hingga akhir tahun 2014 ini sudah ada 74 kasus yang terjerat UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3, berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Lebih parah lagi, sebanyak 42 kasus terjadi tahun 2014 ini.
Sangat ironis. Semakin banyak warga yang melek hukum, namun menggunakan untuk masalah sepele. Lebih mengerikan, ancaman hukuman pasal pencemaran nama baik ini hukuman penjara 5 tahun. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang menjadi korban UU gara-gara sepele.
Pada saat UU mulai diberlakukan tahun 2008 hingga 2011 belum banyak kasus yang menggunakan UU ini. Dalam setahun kasusnya masih dalam hitungan jari. Namun, sejak tahun 2012 hingga saat ini jumlah korban UU ITE makin meningkat tajam. Bahkan di tahun 2014 ini, setiap bulan rata-rata ada 4 kasus pengaduan masyarakat yang merasa menjadi korban pencemaran nama baik dan menjerat terlapor dengan UU ITE. Banyak warga seakan balas dendam, begitu mudah melaporkan orang lain dan orang yang diadukan tersebut dengan mudah bisa masuk penjara.
Bila ditilik awal mula pembuatan UU ITE ini jauh dari memberikan wadah bagi kasus-kasus pencemaran nama baik. Pada awalnya, UU ini digunakan untuk melindungi netizen dari pornografi, perjudian dan hacker yang marak. Namun belakangan, pengguna terbanyak justru “para penumpang gelap” yakni pencemaran nama baik, kasus kebencian maupun SARA. Padahal soal pencemaran nama baik sudah ada di UU KUHP.
Baca Juga: Pede, Razman Arif Nasution Sebut Nikita Mirzani Akan Terjerat Laporannya
Tak heran jka saat ini banyak pihak mendorong revisi UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3, yang menjadi pasal karet bagi siapapun yang merasa dirugikan. Desakan datang dari berbagai lembaga, seperti AJI, Safenet, ICT Wacth, Elsam, YLBHI, dan lain-lain termasuk sejumlah anggota DPR. “Bila UU ini tidak direvisi, kasus akan semakin meningkat dan akan membungkam kebebasan berekspresi,” kata Damar Junianto dari Safenet.