Untuk menguji hipotesisnya tentang aroma politik, Hatemi menggelar eksperimen yang melibatkan 146 sukarelawan. Mereka berusia 18 sampai 40 tahun. Hatemi dan timnya bertanya kepada mereka tentang pilihan politik mereka.
Setelah itu para peneliti meminta 21 orang sukarelawan, yang sudah diidentifikasi sebagai yang sangat liberal atau sangat konservatif, untuk memasang bantalan pengukur aroma di ketiak mereka selama 24 jam.
Selama periode itu mereka dilarang mandi, menggunakan parfum, deodoran, atau bahkan tidur satu ranjang dengan orang lain.
Berikutnya 125 sukarelawan lain diminta mengendus bantalan-bantalan tadi, tanpa diberitahu dari mana asal benda-benda itu. Mereka lalu diminta untuk memberi nilai, dalam skala 1 sampai 5, bantalan mana yang aromanya mereka sukai. Ke-125 sukarelawan itu juga diminta menebak ideologi pemilik keringat yang diendus.
Hasilnya, ke-125 sukarelawan tadi tidak mampu menebak ideologi pemilik keringat yang mereka baui. Tetapi hidung mereka justru bisa.
"Konservatif menyukai bau keringat orang konservatif dan liberal tidak suka bau tubuh orang konservatif," kata Hatemi,
Ia menambahkan bahwa kaum konservatif netral terhadap bau badan mereka yang liberal dan yang liberal juga netral terhadap aroma badan orang berpandangan politik liberal.
Meski demikian, Hatemi mengakui bahwa pengaruh aroma tubuh terhadap pemilihan kekasih sangat kecil, "hanya sesuatu yang di balik layar, sangat sedikit mempengaruhi," orang lain.
Ia juga mengatakan pengaruh "aroma politik" juga kemungkinan besar bisa ditutupi jika orang menggunakan parfum atau mandi.
Penelitian Hatemi dan timnya diterbitkan di American Journal of Political Science terbitan 2 September lalu. (Live Science)