Suara.com - Para peneliti di Fermi National Accelerator Laboratory, Chicago, Illinois, Amerika Serikat mengumumkan bahwa pekan ini Halometer, sebuah mesin yang berfungsi untuk menguji teori bahwa alam semesta adalah sebuah hologram, sudah dinyalakan dan mulai merekam data.
Eskperimen itu bertujuan untuk menguji teori bahwa alam semesta terbentuk dari "bit-bit" kecil, sama seperti foto yang terbentuk dari titik-titik piksel.
Ukuran dari unit terkecil dari ruang dan waktu itu diduga sangat kecil, berjuta-juta kali lebih kecil dari proton, partikel pembentuk atom. Unit-unit kecil ruang dan waktu itu diduga bergerak seperti gelombang, mirip seperti perilaku energi dalam teori kuantum, dan bukan seperti partikel.
"Teorinya adalah ruang terbentuk dari gelombang, bukan titik-titik. Bahwa segala sesuatu bergetar dan tidak pernah diam," kata Craig Hogan, dari University of Chicago, peneliti yang telah lama bermimpi untuk melangsungkan eksperimen itu.
"Kami ingin tahu apakah ruang dan waktu adalah sebuah sistem kuantum, sama seperti benda," imbuh Hogan.
Halometer, yang merupakan singkatan dari "holographic interferometer", bekerja dengan membelah dua sinar laser dan menyalurkannya melalui pipa-pipa sepanjang 40 meter. Beberapa cermin kemudian memantulkan sinar-sinar itu kembali sumbernya. Di sana, sinar laser itu kembali bersatu.
Jika ada pergerakan, maka kecermelangan sinar laser di titik pertemuan akan mengalami fluktuasi. Nah, fluktuasi cahaya itu yang akan dianalisis oleh para peneliti.
Secara spesifik, para peneliti akan mencari fluktuasi yang tidak terduga, sebuah efek yang dipicu oleh faktor unik, bukan oleh getaran biasa semacam gerakan permukaan Bumi.
Yang dicari adalah bukti adanya "gangguan holografis", sebuah ketidakaturan kuantum yang melekat pada ruang dan waktu, yang bisa membuat sinar laser bergetar - sama seperti benda yang terus bergerak meski gelombang kuantum dibekukan hingga ke titik nol.
Menurut para peneliti, getaran yang dicari sangat kecil. Kecepatannya sekira 1 milimeter per tahun. Kira-kira 10 kali lebih pelan dari pergerakan lempeng Bumi.
"Jika kami menemukan sebuah gangguan yang tidak bisa disingkirkan, itu bisa berarti kami menemukan sifat fundamental alam semesta, sebuah 'gangguan' yang melekat pada ruang dan waktu," jelas Aaron Chou, pakar fisika pada laboratorium itu.
"Ini adalah saat yang menegangkan bagi fisika. Sebuah hasil positif akan membuka sebuah lembaran baru tentang bagaimana cara ruang bekerja," imbuh Chou.
Lalu apa hubungannya dengan hologram?
Hologram, yang bisa Anda temukan di kartu kredit atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM), ditempelkan pada plastik film dua dimensi. Saat disinari, ia akan menampilkan citra holografis 3 dimensi.
Nah, pada 1990, Leonard Susskind dan ilmuwan penerima Nobel Gerard't Hooft mensinyalir berlakunya prinsip yang sama di alam semesta. Pengalaman yang kita alami setiap hari bisa jadi adalah proyeksi holografis dari proses fisika yang berlangsung pada ruang 2 dimensi.
Teori mereka berangkat dari penjelasan Jakob Bekenstein dari Hebrew Unversity of Jerusalem di Israel dan Stephen Hawking dari Universty of Cambridge, Inggris tentang lubang hitam.
Kedua pakar fisika ulung itu mengatakan bahwa bahkan lubang hitam tidak bisa melenyapkan informasi. Informasi dari semua bintang mati yang lenyap ditelan lubang hitam masih bisa dilacak kembali dengan mengukur entropy - ukuran kuantitatif dari sistem perpindahan panas yang tidak beraturan - lubang hitam.
Teori itu menjelaskan bahwa gelombang kuantum mikroskopik pada pada permukaan horison - lapisan yang mengelilingi lubang hitam di mana semua benda yang melintasinya akan dihisap de dalam - dapat menyandikan informasi di dalam lubang hitam.
Dengan kata lain, tidak ada informasi yang hancur saat lubang hitam menghilang. Artinya, informasi 3 dimensi tentang bintang yang mati dapat diserap secara lengkap dari lapisan 2 dimensi horizon lubang hitam.
Berdasarkan pada teori ini, para fisikawan yakin bahwa batas-batas alam semesta mengandung informasi 2 dimensi yang menjelaskan secara lengkap segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Seperti sebuah hologram yang menyajikan gambar 3 dimensi dalam wujud 2 dimensi. Seperti televisi yang hanya menayangkan gambar datar dari wujud 3 dimensi ruang dan benda, termasuk manusia di dalamnya.
Tetapi Hogan mengingatkan, gagasan bahwa alam semesta adalah hologram bisa menyesatkan karena seolah-olah bahwa semua yang terjadi di dunia hanya ilusi.
Jika Holometer berhasil menemukan unit-unit fundamental dari alam semesta, itu tidak berarti dunia 3 dimensi kita tidak benar-benar ada. Itu hanya akan mengubah cara manusia memahami apa yang membentuk alam semesta. (New Scientist/ Live Science)