Suara.com - Dalam waktu beberapa bulan lagi, para peneliti militer Amerika akan mengungkapkan perkembangan terbaru implantasi otak yang suatu saat bisa mengembalikan ingatan dari tentara yang terluka.
The Defense Advanced Research Project Agency (DARPA) tengah membuat sebuah stimulator yang merupakan bagian dari proyek Presiden Amerika Serikat Barrack Obama untuk memahami otak manusia. Proyek itu mendapatkan dana 100 juta dolar Amerika.
Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya dan sempat memunculkan masalah etis apakah pikiran manusia bisa dimanipulasi atas nama cedera dalam peperangan atau mengelola otak yang sudah menua.
Sejumlah pihak menilai, penelitian ini akan memberikan dampak positif kepada lima juta warga Amerika yang menderita Alzheimer serta 300 ribu tentara Amerika yang mengalami cedera otak akibat pertempuran di Irak dan Afghanistan.
“Apabila anda mengalami cedera otak saat menjalankan tugas dan anda tidak ingat dengan keluarga anda, kami ingin bisa mengembalikan ingatan itu,” kata manajer program DARPA, Justin Sanchez.
“Kami pikir kami bisa mengembangkan alat neuroprosthetic yang bisa menghubungkan langsung dengan hippocampus dan bisa mengembalikan ingatan tipe pertama yang dicari, yaitu memori deklaratif,” ujarnya.
Memori deklaratif adalah koleksi orang, kejadian dan juga fakta. Belum ada satu penelitian pun yang bisa mengembalikan memori deklaratif secara bersamaan. Yang bisa dilakukan saat ini adalah mengurangi getaran yang dialami penderita penyakit Parkinson.
Memanipulasi ingatan merupakan tindakan yang tidak etis, kata Arthur Caplan, seorang ahli dalam bidang etika kesehatan.
“Ketika anda bermain-main dengan otak, maka anda bermain-main dengan identitas pribadi,” ujarnya.
Caplan mengatakan, penghilangan ingatan atau memasukkan ingatan baru ke otak seorang prajurit akan berpengaruh terhadap cara bertempur prajurit tersebut. Prajurit tersebut bisa bertempur lebih sadis dan tidak punya perasaan.
“Apabila saya bisa menelan pil atau memasang helm dan bisa menghapus sejumlah ingatan, mungkin saya tidak harus hidup dengan konsekuensi yang saya lakukan,” kata Caplan.
Melalui laman pribadinya, DARPA mengungkapkan, program ini lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dan akan tetap berpegangan kepada etika, hukum dan masalah sosial. (AFP/CNA)